Powered By Blogger

Kamis, 02 Desember 2010

Kisah Pembunuh 99 Orang.... (Allah SWT maha penerima taubat)

Dalam sebuah Hadits yang diketengahkan oleh Bukhari dan Muslim secara sepakat disebutkan bahwa: dahulu di kalangan orang-orang yang sebelum kalian -yakni kaum Bani Israil- ada seorang lelaki yang telah membunuh 99 orang. Lelaki ini telah berlumuran darah. Jari-jemarinya, pakaiannya, tangan, dan pedangnya, semuanya basah oleh darah, karena telah membunuh 99 orang dari kalangan orang-orang yang jiwanya terpelihara. Padahal seandainya semua penduduk bumi dan penduduk langit bersatu-padu untuk membunuh seorang lelaki muslim, tentulah Allah akan mencampakkan mereka semuanya dengan muka di bawah ke dalam neraka. Maka terlebih lagi dengan seseorang yang datang dengan pedang yang terhunus, sikap yang kejam, jahat, lagi emosi, akhirnya dia membunuh 99 orang.

Lelaki pelaku kejahatan ini telah melumuri dirinya dengan darah banyak orang dan membinasakan banyak jiwa yang diharamkan oleh Allah membunuhnya serta mencabut nyawa mereka. Sesudah dirinya berlumuran dengan kejahatan dan dosa besar ini, ia menyadari kesalahannya terhadap Allah. Ia pun ber pikir tentang hari pertemuannya dengan Allah nanti, teringat saat hari kedatangannya kepada Allah untuk mempertanggungjawab kan semua dosanya. Dia meyakini bahwa tiada yang mengampuni dosa, yang menghukumnya, yang menghisabnya, dan yang membenci seorang hamba karena dosa, kecuali hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Selanjutnya, ia berpikir untuk kembali dan bertaubat kepadaNya agar Dia membebaskannya dari neraka.



Sesungguhnya para raja pun
bila budak-budaknya telah beruban dalam perbudakannya
mereka pasti akan memerdekakannya
dengan pembebasan yang baik
Dan Engkau, wahai penciptaku, jauh lebih murah daripada itu
Sekarang sungguh aku telah beruban dalam penghambaan diri
maka bebaskanlah diriku dari neraka




Maka keluarlah ia dengan pakaian yang berlumuran darah, sedang pedangnya masih meneteskan darah segar dan jari- jemarinya berbelepotan darah. Ia datang bagaikan seorang yang mabuk, terkejut, lagi ketakutan seraya bertanya-tanya kepada semua orang: “Apakah aku masih bisa diampuni?”

Orang-orang berkata kepadanya: “Kami akan menunjukkanmu kepada seorang rahib yang tinggal di kuilnya, maka sebaiknya kamu pergi ke sana dan tanyakanlah kepadanya apakah dirimu masih bisa diampuni.”

Dia menyadari bahwa tiada yang dapat memberi fatwa dalam masalah ini, kecuali hanya orang-orang yang ahli dalam hukum Allah. Ia pun pergi ke sana, ke tempat rahib itu, seorang ahli ibadah dari kalangan kaum Bani Israil yang belum pernah merasakan manisnya ilmu dan tidak pernah membekali dirinya dengan pengetahuan, penelitian, dan penguasaan terhadap masalah- masalah agama. Dia hanya melakukan ibadahnya menurut tata cara yang dibuat-buatnya sendiri tanpa ada dalil, baik dari syari’at maupun agama.

Perhatikan QS. AL-HADJlD (57): 27, yang artinya:
“Dan mereka mengada-adakan kerahiban, padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada- adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak meme liharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. “



Sesungguhnya agama itu bila tidak dibarengi dengan cahaya hidayah dan ilmu, sama dengan kesesatan dan bid’ah yang bertumpang-tindih antara yang satu dan yang lainnya.

Ia pun pergi dengan langkah yang cepat dengan penuh penyesalan karena dosa-dosa yang telah dilakukannya, lalu ia mengetuk pintu kuil si rahib tersebut.

Rahib tersebut mengharamkan kepada dirinya sendiri: daging, makanan yang baik, pakaian yang baik, dan kawin, padahal Allah tidak mengharamkan semuanya itu atas dirinya. Dia lakukan hal tersebut karena kejahilannya tentang maksud Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia pun keluar menyambutnya.

Lelaki pembunuh ini masuk dan ternyata pakaiannya masih berlumuran darah segar, membuat si rahib kaget dan terkejut bukan kepalang. Si rahib berkata: “Aku berlindung kepada Allah dari kejahatanmu.”

Sambutan ini jelas bukan tata cara yang biasa digunakan oleh para ulama dan para da’i yang menghendaki hidayah bagi manusia, karena pintu Allah selalu terbuka; pemberiannya senantiasa datang dan pergi; pahala-Nya dianugerahkan; tangan kekuasaan Nya senantiasa terbuka pada malam hari untuk menerima taubat orang-orang yang berdosa pada siang harinya, dan senantiasa terbuka pada siang hari untuk menerima taubat orang-orang yang berdo’a pada malam harinya, hingga matahari terbit dari arah tenggelamnya (hari Kiamat).

Si pembunuh bertanya: “Wahai rahib ahli ibadah, aku telah mem bunuh 99 orang, maka masih adakah jalan bagiku untuk bertaubat?”

Rahib yang jahil itu spontan menjawab: “Tiada taubat bagimu!”
Mahasuci Allah, apakah engkau menutup pintu yang selalu dibuka oleh Allah? Apakah engkau memutuskan tali yang telah dijulurkan oleh Allah? Apakah engkau mencegah hujan yang telah diturunkan oleh Allah? Apakah engkau menutup jalan masuk yang telah dibuat oleh Allah?

Padahal Allahlah yang menciptakan; Allahlah yang telah menetapkan; Allahlah yang memberikan ampunan; Allahlah yang menghisab; dan Allahlah yang berbisik kepada seorang hamba pada hari yang tiada bermanfaat lagi harta benda dan anak-anak, kecuali orang yang menghadap kepada Allah dengan hati yang bersih, lalu Allah menyuruhnya mengakui dosa-dosanya, kemu dian Allah mengampuninya jika Dia menghendaki. Maka apakah urusanmu, hai rahib, sehingga engkau ikut campur dalam urusan antara para hamba dan Tuhannya?

Apakah engkau memang seorang yang ahli untuk memberi fatwa dalam masalah ini? Bukan, engkau bukanlah seorang yang ahli dalam bidang ini. Hal ini hanya bisa ditangani oleh para ulama yang mengamalkan ilmunya lagi mengetahui tujuan syari’at-Nya.

Akhirnya, si penjahat ini putus asa memandang kehidupan ini. Di matanya dunia ini terasa gelap; kehendak dan tekadnya melemah; dan keindahan yang terlihat di wajahnya menjadi buruk. Ia pun mengangkat pedangnya dan membunuh rahib ini sebagai balasan yang setimpal untuknya guna menggenapkan 100 orang manusia yang telah dibunuhnya.

Selanjutnya, ia keluar menemui orang-orang guna menanya kan kembali kepada mereka, bukan karena alasan apa pun, melainkan karena jiwanya sangat menginginkan untuk taubat dan kembali ke jalan Tuhannya serta menghadap kepada-Nya.

Ia bertanya kepada mereka: “Masih adakah jalan untuk ber taubat bagiku?”

Mereka menjawab: “Kami akan menunjukkanmu kepada Fulan bin Fulan, seorang ulama, bukan seorang rahib, yang ahli tentang hukum Tuhan.”

Sehubungan dengan pengertian ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menegaskan nya melalui ayat-ayat berikut, yaitu firman-Nya:

Dalam QS. AZ-ZUMAR (39): 9, yang artinya:

“Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”



Dalam QS. AL- MUJAADALAH (58): 11, yang artinya:

”Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. “



Dalam QS. AL-ANKABUUT (29): 49

“Sebenarnya Al-Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. “



Dalam QS. ALI ‘IMRAN (3): 18, yang artinya:

”Allah menyatakan bahwasanya tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). “



Si pembunuh itu pergi menemui orang alim itu yang saat itu berada di majelisnya sedang mengajari generasi dan mendidik umat.

Orang alim itu pun tersenyum menyambut kedatangannya.
Begitu melihatnya, ia langsung menyambutnya dengan hangat dan mendudukkannya di sebelahnya setelah memeluk dan menghormatinya. Ia bertanya: “Apakah keperluanmu datang kemari?”

Ia menjawab: “Aku telah membunuh 100 orang yang terpelihara darahnya, maka masih adakah jalan taubat bagiku?”

Orang alim itu balik bertanya: “Lalu siapakah yang menghalang-halangi antara kamu dengan taubat dan siapakah yang mencegahmu dari melakukan taubat? Pintu Allah terbuka lebar bagimu, maka bergembiralah dengan ampunan; bergembiralah dengan perkenan dari-Nya; dan bergembiralah dengan taubat yang mulus.”

Ia berkata: “Aku mau bertaubat dan memohon ampun kepada Allah.”

Orang alim berkata: “Aku memohon kepada Allah semoga Dia menerima taubatmu.”

Selanjutnya, orang alim itu berkata kepadanya: “Sesungguhnya engkau tinggal di kampung yang jahat, karena sebagian kampung dan sebagian kota itu adakalanya memberikan pengaruh untuk berbuat kedurhakaan dan kejahatan bagi para penghuninya. Barang siapa yang lemah imannya di tempat seperti ini, maka ia akan mudah berbuat durhaka dan akan terasa ringanlah baginya semua dosa, serta menggampangkannya untuk melakukan tindakan menen tang Tuhannya, sehingga akhirnya ia terjerumus ke dalam kegelapan lembah dan jurang kesesatan. Akan tetapi, apabila suatu masya rakat yang di dalamnya ditegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar, maka akan tertutuplah semua pintu kejahatan bagi para hamba.”

“Oleh karena itu, keluarlah kamu dari kampung yang jahat itu menuju ke kampung yang baik. Gantikanlah tempat tinggalmu yang lalu dengan kampung yang baik dan bergaullah kamu dengan para pemuda yang shalih yang akan menolong dan membantumu untuk bertaubat.”

Si pembunuh itu pun pergi dengan langkah yang cepat dan hati yang gembira dengan berita dan pengharapan ini. Ketika ia telah berada di tengah jalan, ia jatuh sakit dan sekaratul maut datang menjemputnya.

Dalam QS. QAAF (50): 19, yang artinya:

“Dan datanglah sakaratul maut yang sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya.”



Selanjutnya, dia mengucapkan kalimat laa ilaaha illallooh, lalu meninggal dunia. Dia belum pernah shalat, belum pernah puasa, belum pernah bershadaqah, belum pernah zakat, dan belum pernah mengerjakan kebaikan sama sekali, tetapi dia kembali kepada Allah dengan bertaubat, menyesal, berharap, dan takut kepada-Nya.

Maka datanglah malaikat rahmat dan malaikat adzab untuk mengambil dan menerima nyawanya dari malaikat maut yang mencabutnya. Mereka terlibat perselisihan yang sengit dalam memperebutkannya. Malaikat rahmat berkata: “Sesungguhnya dia datang untuk bertaubat dan menghadap kepada Allah menuju kepada kehidupan yang taat, kembali kepada Allah, dan dilahirkan kembali melalui taubatnya itu. Oleh karena itu, dia adalah bagian kami.”

Malaikat adzab berkata: “Sesungguhnya dia belum pernah melakukan suatu kebaikan pun. Dia tidak pernah sujud, Tidak pernah shalat, tidak pernah zakat, dan tidak pernah bershadaqah, maka dengan alasan apakah dia berhak mendapatkan rahmat? Bahkan dia termasuk bagian kami.”

Allah pun mengirimkan malaikat lain dari langit untuk melerai persengketaan mereka. Selanjutnya, malaikat yang baru diutus itu pun datang kepada mereka yang telah menjadi dua golongan yang bertengkar.

Malaikat yang baru berkata kepada mereka: ”Tahanlah oleh kalian. Sesungguhnya solusinya menurutku ialah hendaklah kalian sama-sama mengukur jarak antara lelaki ini dan tanah yang ia tinggalkan, yaitu kampung yang jahat, dan jarak antara dia dan kampung yang ditujunya, yaitu kampung yang baik.”

Ketika mereka sedang sama-sama mengukur, Allah memerin tahkan kepada kampung yang jahat untuk menjauh dan kepada kampung yang baik untuk mendekat.

Menurut riwayat lain disebutkan bahwa sesungguhnya lelaki pembunuh 100 orang ini menonjolkan dadanya ke arah kampung yang baik. Akhirnya, mereka menjumpai mayat lelaki jahat ini lebih dekat kepada penduduk kampung yang baik dan mereka memutuskan bahwa lelaki ini adalah bagian untuk malaikat rahmat. Malaikat rahmat pun mengambilnya untuk dimasukkan ke dalam surga.



(KISAH LELAKI INI DISEBUTKAN DALAM SHAHIH BUKHARI NO. 3395, SHAHIH MUSLIM NO. 6957, DAN AHMAD NO.10924.)


http://www.kisahislam.com/kisah-teladan/46-kisah-pembunuh-99-orang.html

BAHAGIA MENEMANI RASULULLAH SAW DI SURGA .......

Madinah muram. Di setiap sudut rumah wajah-wajah tertunduk terpekur menatap tanah. Tak ada senyuman yang mengembang, atau senandung cinta yang dilantunkan para ibunda untuk membuai buah hatinya. 
---------- 

Aku pernah melihat Al-Musthafa pada sebuah malam 
Langit cerah tanpa banyak awan 
Ku pandangi wajah Rasulullah 
Lalu mataku beralih menatap rembulan 
Ternyata menurut penglihatanku 
Beliau lebih cemerlang dibanding pendar rembulan 
(Jabir Bin Samurah, Sahabat Rasulullah) 

Madinah muram. Di setiap sudut rumah wajah-wajah tertunduk terpekur menatap tanah. Tak ada senyuman yang mengembang, atau senandung cinta yang dilantunkan para ibunda untuk membuai buah hatinya. Sebutir hari terus bergulir, namun semua tetap sama, kelabu. Ujung waktu selalu saja hening, padahal biasanya kegembiraan mewarnai keseharian mereka. Padahal semangat selalu saja menjelma. Namun kali ini, semuanya luruh. Tatapan-tatapan kosong, desah nafas berat yang terhembus bahkan titik-titik bening air mata keluar begitu mudah. Sahara menetaskan kesenyapan, lembah-lembah mengalunkan untaian keheningan. Kabar sakitnya manusia yang dicinta, itulah muasalnya. 

Setelah peristiwa Haji Wada' kesehatan nabi Muhammad Saw memang menurun. Islam telah sempurna, tak akan ada lagi wahyu yang turun. Semula, kaum muslimin bergembira dengan hal ini. Hingga Abu Bakar mendesirkan angin kematian Rasulullah. Sahabat terdekat ini menyatakan bahwa kepergian kekasih Allah akan segera tiba dan saat itu adalah saat-saat perpisahan dengan purnama Madinah telah menjelang. Selanjutnya bayang-bayang akan kepergian sosok yang selalu dirindu sepanjang masa terus saja membayang, menjelma tirai penghalang dari banyak kegembiraan. 

Dan masa pun berselang. 
Mesjid penuh sesak, kaum Muhajirin beserta Anshar. Semua berkumpul setelah Bilal memanggil mereka dengan suara adzan. Ada sosok cinta di sana, kekasih yang baru saja sembuh, yang membuat semua sahabat tak melewatkan kesempatan ini. Setelah mengimami shalat, nabi berdiri dengan anggun di atas mimbar. Suaranya basah, menyenandungkan puji dan kesyukuran kepada Allah yang Maha Pengasih. Senyap segera saja datang, mulut para sahabat tertutup rapat, semua menajamkan pendengaran menuntaskan kerinduan pada suara sang Nabi yang baru berada lagi. Semua menyiapkan hati, untuk disentuh serangkai hikmah. Selanjutnya Nabi bertanya. 

"Duhai sahabat, kalian tahu umurku tak akan lagi panjang, Siapakah diantara kalian yang pernah merasa teraniaya oleh si lemah ini, bangkitlah sekarang untuk mengambil kisas, jangan kau tunggu hingga kiamat menjelang, karena sekarang itu lebih baik". 

Semua yang hadir terdiam, semua mata menatap lekat Nabi yang terlihat lemah. Tak akan pernah ada dalam benak mereka perilaku Nabi yang terlihat janggal. Apapun yang dilakukan Nabi, selalu saja indah. Segala hal yang diperintahkannya, selalu membuihkan bening sari pati cinta. Tak akan rela sampai kapanpun, ada yang menyentuhnya meski hanya secuil jari kaki. Apapun akan digadaikan untuk membela Al-Musthafa. 

Melihat semua yang terdiam, nabi mengulangi lagi ucapannya, kali ini suaranya terdengar lebih keras. Masih saja para sahabat duduk tenang. Hingga ucapan yang ketiga kali, seorang laki-laki berdiri menuju Nabi. Dialah 'Ukasyah Ibnu Muhsin. 

"Ya Rasul Allah, Dulu aku pernah bersamamu di perang Badar. Untaku dan untamu berdampingan, dan aku pun menghampirimu agar dapat menciummu, duhai kekasih Allah, Saat itu engkau melecutkan cambuk kepada untamu agar dapat berjalan lebih cepat, namun sesungguhnya engkau memukul lambung samping ku" ucap 'Ukasyah. 

Mendengar ini Nabi pun menyuruh Bilal mengambil cambuk di rumah putri kesayangannya, Fatimah. Tampak keengganan menggelayuti Bilal, langkahnya terayun begitu berat, ingin sekali ia menolak perintah tersebut. Ia tidak ingin, cambuk yang dibawanya melecut tubuh kekasih yang baru saja sembuh. Namun ia juga tidak mau mengecewakan Rasulullah. Segera setelah sampai, cambuk diserahkannya kepada Rasul mulia. Dengan cepat cambuk berpindah ke tangan 'Ukasyah. Masjid seketika mendengung seperti sarang lebah. 

Sekonyong-konyong melompatlah dua sosok dari barisan terdepan, melesat maju. Yang pertama berwajah sendu, janggutnya basah oleh air mata yang menderas sejak dari tadi, dia lah Abu Bakar. Dan yang kedua, sosok pemberani, yang ditakuti para musuhnya di medan pertempuran, Nabi menyapanya sebagai Umar Ibn Khattab. Gemetar mereka berkata: 

"Hai 'Ukasyah, pukullah kami berdua, sesuka yang kau dera. Pilihlah bagian manapun yang paling kau ingin, kisaslah kami, jangan sekali-kali engkau pukul Rasul" 

"Duduklah kalian sahabatku, Allah telah mengetahui kedudukan kalian", Nabi memberi perintah secara tegas. Ke dua sahabat itu lemah sangsai, langkahnya surut menuju tempat semula. Mereka pandangi sosok 'Ukasyah dengan pandangan memohon. 'Ukasyah tidak bergeming. 

Melihat Umar dan Abu Bakar duduk kembali, Ali bin Abi thalib tak tinggal diam. Berdirilah ia di depan 'Ukasyah dengan berani. 

"Hai hamba Allah, inilah aku yang masih hidup siap menggantikan kisas Rasul, inilah punggungku, ayunkan tanganmu sebanyak apapun, deralah aku" 

"Allah Swt sesungguhnya tahu kedudukan dan niat mu duhai Ali, duduklah kembali" Tukas Nabi. 

"Hai 'Ukasyah, engkau tahu, aku ini kakak-beradik, kami adalah cucu Rasulullah, kami darah dagingnya, bukankah ketika engkau mencambuk kami, itu artinya mengkisas Rasul juga", kini yang tampil di depan U'kasyah adalah Hasan dan Husain. Tetapi sama seperti sebelumnya Nabi menegur mereka. "Duhai penyejuk mata, aku tahu kecintaan kalian kepadaku. Duduklah". 

Masjid kembali ditelan senyap. Banyak jantung yang berdegup kian cepat. Tak terhitung yang menahan nafas. 'Ukasyah tetap tegap menghadap Nabi. Kini tak ada lagi yang berdiri ingin menghalangi 'Ukasyah mengambil kisas. "Wahai 'Ukasyah, jika kau tetap berhasrat mengambil kisas, inilah Ragaku," Nabi selangkah maju mendekatinya. 

"Ya Rasul Allah, saat Engkau mencambukku, tak ada sehelai kainpun yang menghalangi lecutan cambuk itu". Tanpa berbicara, Nabi langsung melepaskan ghamisnya yang telah memudar. Dan tersingkaplah tubuh suci Rasulullah. Seketika pekik takbir menggema, semua yang hadir menangis pedih. 

Melihat tegap badan manusia yang di maksum itu, 'Ukasyah langsung menanggalkan cambuk dan berhambur ke tubuh Nabi. Sepenuh cinta direngkuhnya Nabi, sepuas keinginannya ia ciumi punggung Nabi begitu mesra. Gumpalan kerinduan yang mengkristal kepada beliau, dia tumpahkan saat itu. 'Ukasyah menangis gembira, 'Ukasyah bertasbih memuji Allah, 'Ukasyah berteriak haru, gemetar bibirnya berucap sendu, "Tebusanmu, jiwaku ya Rasul Allah, siapakah yang sampai hati mengkisas manusia indah sepertimu. Aku hanya berharap tubuhku melekat dengan tubuhmu hingga Allah dengan keistimewaan ini menjagaku dari sentuhan api neraka". 

Dengan tersenyum, Nabi berkata: "Ketahuilah duhai manusia, sesiapa yang ingin melihat penduduk surga, maka lihatlah pribadi lelaki ini". 'Ukasyah langsung tersungkur dan bersujud memuji Allah. Sedangkan yang lain berebut mencium 'Ukasyah. Pekikan takbir menggema kembali. "Duhai, 'Ukasyah berbahagialah engkau telah dijamin Nabi sedemikian pasti, bergembiralah engkau, karena kelak engkau menjadi salah satu yang menemani Rasul di surga". Itulah yang kemudian dihembuskan semilir angin ke seluruh penjuru Madinah. 

*** 

Nasyid Raihan : 

Tuhan.... 
diri ini tidak layak ke surgamu 
Namun, tidak jua 
aku sanggup ke neraka Mu 
Semoga ku kan selamat 
Dunia akhirat 
Seperti Rasul dan Sahabat 


Judul asli : Berbahagialah Ukasyah 
Sumber : http://www.oaseislam.com/modules.php?name=News&file=article&sid=149 

Selasa, 14 September 2010

REALITA UMAT ISLAM HARI INI...

Oleh : Ustadz Farid Nu'man

Saat itu, tepat 17 Ramadhan tahun kedua Hijriyah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam  memandangi pasukan musuhnya yang berjumlah seribu orang dan pasukan yang dibawanya sejumlah 310 lebih sedikit. Hamba mulia ini memanjatkan doa yang begitu mengharu biru di tengah pasukannya yang amat sedikit dan apa adanya, melawan pasukan kafir Quraisy  yang tiga kali lipat menghadang di hadapan mereka di padang Badar. Dengan menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya, Beliau berdoa:
اللهم! أنجز لي ما وعدتني. اللهم! آت ما وعدتني. اللهم! إن تهلك هذه العصابة من أهل الإسلام لا تعبد في الأرض
               Ya Allah! Penuhilah untukku apa yang Kau janjikan kepadaku. Ya Allah! Berikan apa yang telah Kau janjikan kepadaku. Ya Allah!  jika Engkau biarkan pasukan Islam ini binasa, … maka tidak ada lagi yang menyembahMu di muka bumi.”
                Beliau senantiasa berdoa dengan suara tinggi seperti itu dan menggerakan kedua tangannya yang sedang menengadah dan menghadap kiblat, sampai-sampai selendang yang dibawanya jatuh dari pundaknya. Lalu Abu Bakar menghampirinya dan meletakkan kembali selendang itu di pundaknya dan dia terus berada di belakangnya. Lalu Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu berkata:
 يا نبي الله! كذاك مناشدتك ربك. فإنه سينجز لك ما وعدك
            “Wahai Nabi Allah! Inilah sumpahmu kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia akan memenuhi apa yang dijanjikanNya kepadamu.”
                Lalu turunlah firman Allah Ta’ala:
إذ تستغيثون ربكم فاستجاب لكم أني ممدكم بألف من الملائكة مردفين
“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: "Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut." (QS. Al Anfal (8): 9). (HR. Muslim No. 1763, At Tirmidzi No. 5075, Ibnu Hibban No. 4793. Ahmad No. 208, Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 7/95)
Lalu, terjadilah pertempuran yang sebenarnya tidak seimbang itu, namun karena kekuatan iman, kekuatan ukhuwah, kepemimpinan yang berwibawa, serta ditopang strategi yang jitu, kaum muslimin berhasil memenangkan pertempuran yang disebut dalam Al Quran sebagai “Yaumul Furqan” (Hari Pembeda). Hari yang membedakan antara hak dan batil, antara periode dakwah yang selalu tertindas menjadi dakwah yang disegani.
                                  * * * * *
            Syahdan, pada masa khalifah Al Mu’tashim billah (nama aslinya adalah Abu Ishaq Muhammad bin Harun Ar Rasyid), dia berkuasa sejak tahun 218  sampai 227 Hijriyah. Pada masanya, pasukan Islam mampu mengalahkan pasukan Romawi dengan kemenangan besar yang belum pernah terjadi pada khalifah-khalifah sebelumnya. Dia mampu memecahkan pasukan Romawi dan menembus masuk ke negeri Romawi, dan menewaskan 3000 pasukannya serta menawan yang lain sejumlah itu pula. (Imam As Suyuthi, Tarikhul Khulafa’, Hal. 245. Cet. 1. 1425H-2004M. Maktabah Nizar Mushthafa Al Baz )
                Tahukah anda apa yang melatar belakangi pertempuran dengan Romawi kala itu? Yakni karena seorang muslimah diperkosa oleh pasukan Romawi. Lalu peristiwa memilukan ini diketahui oleh Khalifah Al Mu’tashim. Maka, demi menjaga kehormatan Islam dan kaum muslimin, Khalifah Al Mu’tashim mengirim pasukan ke Romawi dengan armada pasukan yang sangat besar. Pasukan terdepan sudah sampai di ibu kota Romawi saat itu (yakni Konstantinopel-  Istambul saat ini) sedangkan pasukan paling belakang masih ada di istananya di Baghdad! Ratusan  ribu  pasukan yang dikirim ke Romawi, ada yang meyebut 200 ribu lebih dan ada pula yang menyebut 500 ribu pasukan (Siyar A’lam An Nubala, 10/297), ternyata Romawi menyambutnya dengan peperangan, maka terjadilah pertempuran dahsyat yang dimenangkan pasukan Islam sebagaimana telah tertulis dalam sejarah Islam masa lalu.
Lihatlah ini! Begitu berdayanya umat Islam, dan begitu tingginya wibawa kaum muslimin, hanya karena seorang muslimah diperkosa, mereka tidak terima dan berbondong-bondong menggedor  Romawi dan berhasil meruntuhkan kerajaannya yang begitu besar dan ditakuti saat itu. Tetapi itu semua berhasil ditekuk dan hanyalah fatamorgana yang tidak berdaya apa-apa di depan  kekuatan iman dan ‘izzah Islam (kemuliaan Islam). Lalu bandingkanlah dengan dunia Islam saat ini.  Tak berdaya dan tidak berwibawa. Banyak jumlah namun sedikit keberanian, paling jauh hanya demonstrasi ketika melihat saudaranya dianiaya. Bukan lagi satu muslimah diperkosa, tetapi ribuan dijarah kehormatannya, anak-anak dibunuh atau dimurtadkan, mereka diusir dari kampung halamannya, dirampas harta kekayaannya, dan dikebiri perannya dalam percaturan dunia internasional. Kaum muslimin hanya mampu mengecam, mengutuk, dan mengadakan sidang, tetapi tidak ada aksi nyata seperti Khalifah Al Mu’tashim terhadap Romawi.
Ya, betapa cepatnya langit cerah menuju mendung dan kelam, lalu kapankah cemerlangnya pagi akan datang? Saat itu ada muslimah diperkosa, namun juga ada Khalifah Al Mu’tashim yang membelanya. Saat ini umat Islam tertindas ada di Afghanistan, Palestina, Iraq, Moro di Filipina, Patani di Thailand,  Rohingnya di Cina,  dan belahan Bumi Allah lainnya, tetapi tidak ada pemimpin Islam yang seperti Al Mu’tashim! (Namun, Al Mu’tashim memiliki kesalahan ketika menyiksa Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah, tetapi dalam sisi pembelaannya terhadap kaum muslimin, dia patut dibanggakan)
Berkata Imam Adz Dzahabi Rahimahullah:
كان المعتصم من أعظم الخلفاء وأهيبهم، لولا ما شان سؤدده بامتحان العلماء بخلق القرآن.
“Al Mu’tashim, dahulu adalah termasuk di antara khalifah yang paling agung dan paling pemalu di antara mereka, seandainya saja dia tidak mengotori kekuasaannya lantaran menyiksa ulama dalam masalah kemakhlukan Al Quran.” (Imam As Suyuthi, Tarikhul Khulafa’, Hal. 244)
                                         * * * * *
Di atas, hanya sedikit contoh kehebatan kaum muslimin masa lalu. Itu pun dari satu sisi saja, yakni kekuatan dan kewibawaannya. Kita belum membicarakan ketinggilan ilmu pengetahuan dan peradaban dunia Islam, dan dibutuhkan banyak halaman untuk menceritakannya.
Saat ini kita hidup di alam real (nyata) umat Islam. Biarlah romantisme masa lalu itu tetap ada dan menghujam dalam dada kita sebagai bekal dan spirit untuk meraih kembali  kejayaan yang hilang itu. Tetapi, kita tidak boleh berlama-lama dalam dunia lamunan, romantisme kejayaan, dan –apalagi- tangisan meratapi puing-puing kehancuran peradaban Islam pasca (setelah) runtuhnya simbol kekuatan dan pemersatu umat Islam, yakni Khilafah Turki Utsmaniyah pada tahun 1924 M di Turki, yang dihapuskan oleh si musuh Turki (A’da At Turk –inilah istilah yang diberikan ulama turki kepadanya), yakni  Mustafa Kamal. Ada pun sejarawan sekuler menjulukinyaAttaturk (Bapaknya Turki).
Realita umat Islam hari ini, jika kita lihat, ternyata terhimpun  menjadi empat penyakit yang mesti disembuhkan dengan cepat. Penyakit itu adalah:  
  1. Al Jahlu (Kebodohan)
Apa yang dimaksud kebodohan di sini? Bukankah dunia Islam –sebagaimana dunia Barat- juga memiliki kampus-kampus bergengsi, kecil dan dewasa, pria dan wanita berbondong-bondong menuju bangku sekolah dan kuliah, berbeda dengan masa lalu?
Kebodohan di sini adalah ketiadaan ma’rifah (pengetahuan mendalam) mereka terhadap Rabb dan agamanya. Bisa jadi memang, dunia Islam tidak kalah canggih dan intelek, tetapi itu hanyalah pengulangan kondisi Arab sebelum datang Islam. Dunia Arab sebelum Islam, juga memiliki peradaban tinggi yang terbukti dari kemampuan mereka membuat tata kota yang bagus, pengairan sawah yang baik, serta karya seni bernilai tinggi. Tetapi, sejarah Islam tetap  memposisikan mereka sebagai  era  Jahiliyah. Sebab, keilmuan yang mereka miliki tidak mampu menolong mereka untuk mengetahui siapa Tuhan mereka sebenarnya, justru mereka menyembah dan mengagungkan produk budaya mereka sendiri yaitu berhala-berhala yang indah yang mereka ciptakan. 
Perhatikan umat Islam saat ini, umumnya mereka jauh dari agamanya, jauh dari Al Quran dan Sunnah nabinya, tetapi lebih dekat  bahkan sampai taraf memberikan cinta terhadap budaya, pemikiran dan akhlak Barat yang nota bene non muslim yang justru hendak menghancurkannya. Sayangnya mereka tidak menyadarinya.
Hal ini membawa dampak lainnya; masjid yang sepi kecuali shalat jumat, merosotnya moral baik pejabat atau rakyatnya, ibadah hanya menjadi rutinitas kosong belaka tanpa bekas dan pengaruh dalam kehidupan, ulama tidak berwibawa baik ilmu dan perbuatannya, pergaulan bebas remaja, angka perceraian yang tinggi, pornografi dan porno aksi dianggap biasa, dan segudang permasalahan lainnya.   Ini semua berawal dari kebodohan terhadap agama, sebab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah berjanji bahwa berbagai kebaikan –termasuk kebaikan dalam urusan dunia dan ilmu pengetahuan- akan datang bersamaan dengan pemahaman yang benar terhadap agama.
 Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan kebaikan maka akan dipahamkan  baginya ilmu agama.” (HR. Bukhari No. 2948, Muslim No. 1037, At Tirmidzi No. 2783, Ibnu Majah No. 220, Ibnu Hibban No. 89, 310, 3401,  Malik No. 1599, Ad Darimi No. 224, 2706, Abu Ya’la No. 7381, Musnad Ishaq No.439, dan lainnya)
  1. Adh Dha’fu (lemah)
Kelemahan umat Islam terdapat pada banyak sisi kehidupan, baik pribadi atau masyarakat. Boleh dikatakan di semua sisi kehidupan. Di antaranya yang bisa disebutkan di sini adalah:
a.       Lemah Aqidah
Aqidah adalah pegangan hidup yang utama dan menjadi fondasi untuk lahirnya  imanul ‘amiq (keimanan yang mendalam). Aqidah yang kuat hanya menjadikan Allah Ta’ala sebagai satu-satunya penolong dari kesulitan hidup dan permasalahnnya. Tidak takut mati, apalagi takut miskin. Sebab seorang yang mengimani Allah Ta’ala sebagai pengatur hidup akan merasa aman dan tentram hatinya ketika menyandarkan dirinya kepada pemiliki kehidupan itu sendiri. Berbeda dengan orang yang aqidahnya lemah, dia lebih takut dengan ancaman makhluk dibanding azab Allah Ta’ala. Seperti yang terjadi saat ini, umat Islam (khususnya para pemimpinnya) lebih takut dengan ‘azab’ yang diberikan Amerika Serikat dan sekutunya dibanding azab dari Rabb mereka. Begitu juga ketika sepasang manusia berzina, mereka lebih takut hamil dibanding takut kepada Allah Ta’ala. 
Berbeda dengan Sumayyah, seorang wanita yang mati syahid dan menjadi syahid pertama dalam Islam. Dia tetap memgang teguh agama tauhid walau mengalami penyiksaan yang membuatnya dibunuh secara keji.
Berbeda dengan Bilal bin Rabbah, seorang sahabat nabi yang disiksa dengan ditindih batu besar pada siang yang amat panas, agar ia mau keluar dari agama Islam dan kembali mengakui ketuhanan kolektif Arab jahiliyah. Tetapi dia tetap dalam keimanannya, dan mengatakan; “ahad .. ahad .. ahad … (Yang Maha Tunggal (Esa) ….)
Berbeda dengan Masyithah, seorang wanita pelayan di istana Fir’aun yang tetap teguh menyembah Allah Ta’ala dan menolak pengakuan ketuhanan Fir’aun. Dia bersama keluarganya direbus hidup-hidup untuk mempertahankan aqidahnya.
Ya, kita berbeda dengan mereka. Begitu sabar dan teguhnya aqidah mereka …
b.      Lemah Ekonomi
Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, kaum muslimin benar-benar merasakan baldatun thayyibatun(negeri yang  makmur). Sampai-sampai Srigala menyusu kepada Domba, padahal domba adalah mangsa Srigala! Saat itu, pemerintah kesulitan mencari faqir miskin untuk menerima zakat, akhirnya harta zakat disalurkan ke negeri-negeri non muslim.
 Pada masa Khalifah Harun Al Rasyid, dia pernah keluar dari istana sambil menatap langit yang sedang mendung:
“Ya Allah, turunkanlah hujan di mana Engkau mau. Jika Kau turunkan di Barat maka itu adalah negeri kami, jika Kau turunkan di Timur itu juga negeri kami.”
Apa yang dikatakannya melambangkan kemakmuran negeri Islam yang merata dan begitu luas. Sehingga dua khalifah ini termasuk deretan para khalifah yang paling sering disebut namanya setelah empat khulafa’ur rasyidin.
Kemandirian ekonomi adalah salah satu penopang kekuatan, dan Islam sangat menekankan hal itu. Seorang yang berhutang biasanya akan mengalami penurunan kekuatan. Daya kritis, kemandirian, dan sebagainya akan mudah didikte oleh orang yang memberinya hutang. Begitu pula dalam tingkat negara. Negara-negara miskin –kebanyakan negara muslim- mudah sekali dikendalikan oleh kekuatan asing yang menjadi donor bagi dana pembangunan negerinya.  Maka, wajar kalau Islam tidak menyukai kefaqiran. Hal ini terbukti dari berbagai doa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang  diajarkannya untuk umatnya berisi perlindungan  dari kefaqiran.
Diantaranya:
اللهمّ إني أعوذ بك من الكفر والفقر
                “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari kekafiran dan kefaqiran.” (HR. Abu Daud No. 5090, Ibnu Hibban No. 1026, An Nasa’i No. 1347, Ibnu Khuzaimah No. 747, Ahmad No. 20381, Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 3/251. Syaikh Al Albani mengatakan: shahih. Lihat Shahih wad Dhaif Sunan An Nasa’i No. 1347 )
                Doa lainnya:
 اللهم إنِّي أعوذ بك من الهمِّ والحزن، وضلع الدين ، وغلبة الرجال
“ Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari gelisah dan sedih, dan lilitan hutang dan tekanan manusia.” (HR.   Bukhari No. 2736, 6002,  At Tirmidzi No. 3484,  Abu Daud No. 1541, An Nasa’i No.5476, Abu Ya’la No. 3695, 4003, Ibnul Ju’di No. 2908)
c.       Lemah Propaganda
Dunia propaganda, melalui media elektronik seperti TV, Radio, dan internet, atau media cetak seperti majalah dan buku, ternyata telah melampaui batas fungsinya sebagai jendela informasi bagi manusia. Saat ini sarana ini telah dijadikan alat untuk memojokkan Islam dan kaum muslimin.  Media Barat telah menggiring opini dunia  untuk menyebutnya sebagai teroris, agama pedang, penindas kaum wanita, dan sebagainya. Begitu kuat jaringan mereka, satu sama lain saling membantu.
Orang shalih bisa jadi buruk lantaran diberitakan buruk, dan orang jahat bisa menjadi pahlawan karena diberitakan sebagai pahlawan. Inilah keajaiban propaganda. Dan, sayangnya tidak sedikit umat Islam yang terpukau oleh media mereka dan termakan oleh isu dan hasutan yang mereka buat. Kita selalu meng-iya-kan kata mereka. Persis yang Al Quran katakan:
Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata, kamu mendengarkan perkataan mereka. (QS. Al Munafiqun (63); 4)
 Sementara, di sisi umat Islam sendiri mereka lemah. Belum ada kantor berita umat Islam yang menjadi media rujukan utama sebagai penyeimbang, jangankan secara internasional , secara nasional pun belum ada, sekali pun ada hanya menjangkau lapisan yang sangat ekslusif dan terbatas. Wal hasil, tidak ada pilihan lain akhirnya mereka menjadikan media Barat sebagai rujukan, walau mereka telah tahu bahwa media tersebut tidak akan pernah objektif dan adil ketika berhadapan dengan kepentingan Islam dan kaum muslimin.
  1. Adz Dzullah (Direndahkan)
Ini merupakan efek domino yang otomatis dari kebodohan dan kelemahan, sebab tidak ada orang bodoh dan lemah yang memiliki wibawa dan kehormatan.
Lihatlah dunia! Mereka ramai menyalahkan pemerintah Indonesia ketika kasus di Timor Timur (sekarang Timor Leste), bahkan mereka mengintervensi sehingga propinsi ini lepas dari Indonesia. Ada pun Papua, pun sedang mengalami hal yang sama. Begitu mudahnya negeri muslim diobok-obok oleh kekuatan asing.
Ketika kedung kembar WTC (World Trade Center) ditabrak oleh dua pesawat yang tidak jelas siapa pelakunya. Bahkan, CIA tidak berani memastikan. Namun, Amerika Serikat dengan kesombongannya langsung menyalahkan pemerintah Taliban di Afghanistan, sebuah negeri miskin dan terbelakang. Afghanistan diserang oleh tentara AS tanpa peduli protes dunia muslim dan yang masih punya nurani kemanusiaan.
Begitu pula yang terjadi Iraq,  presidennya dijatuhkan oleh kekuatan negara lain, bukan kekuatan yang berasal dari rakyatnya sendiri. Umat Islam dunia juga tidak berkutik.
Jalur Gaza akhir 2008 dan awal 2009. Negara Zionis Israel menyerang Gaza sebuah kota kecil yang hanya dijaga oleh milisi mujahidin HAMAS yang tidak seberapa banyak. Umat Islam yang setengah miliar di timur tengah, diacak-acak oleh kebiadaban tentara Zionis Israel di sana. Mereka hanya menonton dan menangis, paling jauh demonstrasi. Bahkan mayoritas umat ini tidak peduli karena sibuk dengan dunianya masing-masing. Kemana umat Islam? Kemana pemimpin kaum muslimin? Kemana Al Mu’tashim abad modern? Kemana satu setengah miliar umat Islam?
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
يوشك الأمم أن تداعى عليكم كما تداعى الأكلة إلى قصعتها" فقال قائل: ومن قِلّةٍ نحن يومئذٍ؟ قال: "بل أنتم يومئذٍ كثيرٌ، ولكنكم غثاءٌ كغثاء السيل، ولينزعنَّ اللّه من صدور عدوكم المهابة منكم، وليقذفنَّ اللّه في قلوبكم الوهن" فقال قائل: يارسول اللّه، وما الوهن؟ قال: "حبُّ الدنيا وكراهية الموت
                “Hampir datang masanya bangsa-bangsa mengerumuni kalian sebagaimana mengerumuni makanan di atas meja makan.” Ada yang bertanya: “Apakah saat itu kita sedikit?” Beliau menjawab: “Justru saat itu kalian banyak, tetapi laksana buih di lautan. Allah telah mencabut rasa takut dalam dada musuh-musuh kalian terhadap kalian, sedangkan Allah telah melemarkan ke dalam hati kalian penyakit Al Wahn,” Ada yang bertanya: “Apakah Al Wahn?” Beliau menjawab: “Cinta dunia dan takut mati!” (HR. Ibnu Majah No. 4297, Ahmad No. 22397, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: sanadnya hasan. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam As Silsilah Ash Shahihah No. 958)
  1. Al Furqah (Perpecahan)
Seharusnya perbedaan dapat dijadikan khazanah yang baik. Islam tidak mencela perbedaan tetapi membenci perpecahan. Dan, perbedaan belum tentu berpecah, sedangkan berpecah sudah pasti  berbeda.
Perbedaan memang hal yang niscaya dan pasti ada. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ
Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu.. (QS. Huud: 118-119)
Imam Hasan Al Bashri Radhiallahu ‘Anhu mengatakan:
وللاختلاف خَلَقهم
“Dan Allah menciptakan mereka untuk perbedaan.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 4/362. Dar Ath Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’)
Dalam potongan hadits yang cukup panjang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa sallam bersabda:
من يعيش منكم بعدي فسيرى اختلافا كثيرا
                “Barangsiapa diantara kalian yang hidup setelah aku, maka dia akan melihat banyak perselisihan ..” (HR. At Tirmidzi No. 2816, katanya: hasan shahih. Ad Darimi No. 95, Ibnu Majah No. 43, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 20125, Ibnu Hibban, Bab Maa Ja’a Al Ibtida bihamidallahu Ta’ala,  No. 5, Ahmad No. 17142. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata; hadits shahih dengan banyak jalur dan penguatnya)
                 Namun demikian, walau perbedaan itu pasti ada dan ini sudah diisyaratkan jauh-jauh hari, Islam tetaplah mencela perpecahan dan mengaharamkannya di antara kaum muslimin.
                Allah Ta’ala berfirman:
 وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا
                “Dan berpegang teguhlah kepada tali (agama) Allah kalian semua, dan janganlah berpecah belah ..” (QS. Ali Imran (3): 103)
                Inilah penyakit yang mengerikan sebab dia menghancurkan dari dalam seperti kanker yang menggerogoti tubuh manusia. Sesungguhnya umat Islam tidak pernah takut akan ancaman dari luar karena mereka sudah mengantisipasi dengan semangat jihad fisabilillah. Tetapi yang justru dikhawatiri adalah hancurnya umat islam dari dalam, yakni ketidakmampuan mereka dalam meredam perselisihan dan mengolah perbedaan. Akhirnya, musuh-musuh Islam bertepuk tangan sementara kita sibuk bercakaran. Mereka pun berkata; “Terima kasih wahai umat Islam, tugas kami memecah belah kalian sudah diselesaikan oleh kalian sendiri!”
                                                    * * * * *
                Demikianlah penyakit umat islam kontemporer dan kita harus tersadari olehnya. Tentunya harus dicarikan solusi yang jitu dengan tanpa melahirkan penyakit baru. Bagaimana itu?
                Ringkasnya, sebagaimana kata Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu yang pernah mengatakan: “Umat ini tidak akan jaya kecuali dengan cara pertama kali  ia dijayakan  genarasi awalnya.”
                Yaitu dengan iman, ilmu, ukhuwah islamiyah yang solid, dan ruhul jihadiah (semangat juang) yang tidak terputus. Sehingga umat Islam menjadi cerdas tidak bodoh, kuat tidak lemah, berwibawa tidak direndahkan, dan solid tidak berpecah. Wallahu A’lam


Minggu, 12 September 2010

MAKNA SILATURAHMI

Diantara ayat yang sering dijadikan dasar bahwa kita wajib bersilaturahmi adalah surat Annisa ayat 1 yang didalamnya terdapat kalimat yang berbunyi, Wataqullâh alladzî tasã`alûna bihî wal arhâm… “Dan bertakwalah kepada Allâh yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.”

Arhâm bentuk jama dari kata rahim yang berarti kandungan. Imam Alqosimi di dalam tafsirnya memberikan pengertian dengan makna “wattaqul arhâm” (nitip rahim, nitip kandungan). 

Sepintas terasa agak aneh, Allâh menitipkan kandungan, tapi menurut ahli ilmu bayan/balaghoh kalimat seperti ini termasuk kalimat Majaz Mursal, min ithlaqil mahâl lil iradati hâl, disebut tempat yang dimaksud adalah yang menempatinya. 

Wattaqul arhâm. Nitip kandungan jelas maknanya adalah yang keluar dari kandungan yaitu anak dan keturunan. Jadi kalau kita tarik pemahaman dari kalimat yang diambil dari surat Annisa ayat 1 tadi. Allâh berpesan bertakwalah kamu kepada Allâh wahai para orang tua dan didik (jaga) anak keturunan kamu supaya mereka menjadi manusia-manusia yang bertakwa juga.

Di lingkungan kita banyak yang memahami makna silaturahmi itu sebatas mengadakan pertemuan keluarga atau pertemuan warga. Lalu saling mengenalkan hubungan kekerabatan; ini kakek, paman, bibi, keponakan, dstnya. Memang itu pun mempunyai nilai positif, tapi yang disebut silaturahmi tidak sebatas itu, bukan hanya memperkuat hubungan kekerabatan semata, yang lebih esensial (penting dan mendasar) adalah bagaimana memperkuat hubungan keimanan, ketakwaan pada lingkungan keluarga masing-masing. 

Dalam tafsir Ibnu Katsier tercatat sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu Jarir, Rasûlullâh Saw., bersabda, “Nanti di hari kiamat diantara hamba-hamba Allâh ada sekelompok orang yang mendapat tempat istimewa di surga, mereka itu bukan para Nabi juga bukan Syuhada, malah para Nabi dan Syuhada tertarik dengan kedudukan mereka di sisi Allâh pada hari kiamat. Mendengar pernyataan seperti para sahabat semangat untuk bertanya, ‘Yaa Rasûlullâh, manusia macam apakah yang akan mendapat tempat istimewa di surga?’ Nabi tidak menyebut nama juga kelompok, tapi menyebutkan sifat, mereka yang akan mendapatkan tempat istimewa di surga adalah yang ketika hidupnya di dunia saling mencintai, menyayangi dengan dasar karena Ruh Allâh (keimanan, keislaman dan ketakwaan) bukan karena ikatan harta atau keturunan.”

Wajar jika seorang kakek sayang kepada cucunya karena ada hubungan famili, pantas jika mertua sayang kepada menantu karena terikat oleh anak, normal jika seorang pedagang sayang kepada pelanggan karena ada ikatan simbiosa mutualistis (hidup saling menguntungkan yang terkait dengan harta). Tapi ternyata yang membawa akibat yang positif nanti di akhirat -sampai di tempatkan di kelas istimewa di surga-, bukan ikatan kekeluargaaan atau bisnis, tapi lebih karena ikatan rasa keimanan, keislaman, dan ketakwaan. 

Oleh sebab itu maka yang di maksud dengan silaturahmi jelas bukan hanya sebatas mengumpulkan keluarga dan saling mengenalkan hubungan kekerabatan tapi bagaimana kita memperkokoh kualitas keimanan dan ketakwaan dalam keluarga kita. 

Bukankah putra Nabi Nûh yang bernama Kan’an oleh Allâh ditenggelamkan di lautan banjir besar. Ketika Nabi Nûh meminta pertolongan kepada Allâh untuk menyelamatkan anaknya, Allâh menjawab, “Wahai Nûh, dia (Kan’an) bukan keluargamu!.” Ahli tafsier memaknai karena dia (Kan’an) tidak beramal sholeh seperti bapaknya (Nûh). 

Dari cerita Nûh dan anaknya kita bisa belajar bahwa makna silaturahmi itu tidak hanya sebatas bersalaman mengadakan pertemuan tetapi yang paling penting adalah bagaimana kita memperkokoh kualitas keimanan, keislaman, dan ketakwaan dalam lingkungan keluarga kita sehingga kita bersama-sama menjadi manusia-manusia yang bertakwa.

“Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (Qs. Ath-Thuur [52]:21)

Mudah-mudahan kita diberi kekuatan oleh Allâh untuk menjaga dan memelihara silaturahmi khususnya dilingkungan keluarga kita masing-masing.

Khutbah kedua
Jika akhir-akhir ini ada gejala munculnya kembali orang mengaku Nabi dan ada pula aliran yang mengingkari sunnah Nabi. Sebenarnya gejala ini sudah diprediksi oleh Nabi sebelumnya, seperti sabdanya, “Tidak akan terjadi kiamat sehingga bermunculan Dajal-Dajal yang semuanya mengaku dirinya sebagai Rasûlullâh.” Sedangkan Allâh dalam firman-Nya dengan tegas menyatakan posisi Nabi Muhammad sebagai, “Rasûlullâh dan penutup para Nabi.” (Qs. Al Ahzab [33]:40)

Dalam Shohih Bukhari Nabi bersabda, “Bani Isrâil adalah sebuah bangsa yang secara terus menerus dibimbing oleh para Nabi, setiap Nabi wafat, Allâh menurunkan Nabi pengganti. Dan sesungguhnya tidak akan ada lagi Nabi sesudahku, yang ada adalah para khalifah dan jumlahnya banyak.”

Jadi baik ayat Alqurân atau hadits Nabi sudah menegaskan bahwa Muhammad Saw., adalah Nabi dan Rasûl terakhir. Jika kemudian ada orang mengaku Nabi, kita tidak perlu kaget karena itu sudah muncul sejak zaman Nabi sendiri; tokoh yang bernama Musailamah Al-Kadzab, termasuk yang kemudian muncul tokoh Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad.

Rasûlullâh Saw., bersabda, “Sesungguhnya Allâh tidak mengutus seorang Nabi pun kecuali pasti mengingatkan kepada umatnya bahwa akan muncul Dajal dan aku adalah Nabi terakhir dan kalian adalah umat terakhir. Dan Dajal akan muncul diantara kalian. Dajal itu akan nampak dan berkata, ‘Aku adalah Nabi’ padahal tidak ada lagi Nabi sesudah aku.” 

Dengan dalih apapaun, argument bagaimanapun, sebanyak apapun pengikutnya jika mengaku Nabi sesudah Nabi Muhammad itulah yang disebut Dajal. Artinya tidak boleh kita ikuti, kita imani, apalagi jika dia menganjurkan untuk meninggalkan kewajiban-kewajiban sebagai seorang muslim.

Mudah-mudahan kita tetap ada dalam hidayah Allâh, tidak terkecoh dan terbujuk oleh kelompok-kelompok yang akan menyesatkan kita, membawa kita ke arah yang jauh dari ridlo Allâh Swt.[*]

Ringkasan Khutbah Jum'at Masjid Persatuan Islam Pajagalan Bandung
Jum'at Pertama, 02 November 2007
Khatib: KH. Drs. Shiddiq Amien, MBA

Jumat, 27 Agustus 2010

DELAPAN TANDA ORANG IKHLAS

Amal yang kita lakukan akan diterima Allah jika memenuhi dua rukun. Pertama, amal itu harus didasari oleh keikhlasan dan niat yang murni: hanya mengharap keridhaan Allah swt. Kedua, amal perbuatan yang kita lakukan itu harus sesuai dengan sunnah Nabi saw.

Syarat pertama menyangkut masalah batin. Niat ikhlas artinya saat melakukan amal perbuatan, batin kita harus benar-benar bersih. Rasulullah saw. bersabda, “Innamal a’maalu bin-niyyaat, sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niatnya.” (Bukhari dan Muslim). Berdasarkan hadits itu, maka diterima atau tidaknya suatu amal perbuatan yang kita lakukan oleh Allah swt. sangat bergantung pada niat kita.

Sedangkan syarat yang kedua, harus sesuai dengan syariat Islam. Syarat ini menyangkut segi lahiriah. Nabi saw. berkata, “Man ‘amala ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa raddun, barangsiapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak pernah kami diperintahkan, maka perbuatan itu ditolak.” (Muslim).

Tentang dua syarat tersebut, Allah swt. menerangkannya di sejumlah ayat dalam Alquran. Di antaranya dua ayat ini. “Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh….” (Luqman: 22). “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan….” (An-Nisa: 125)

Yang dimaksud dengan “menyerahkan diri kepada Allah” di dua ayat di atas adalah mengikhlaskan niat dan amal perbuatan hanya karena Allah semata. Sedangkan yang yang dimaksud dengan “mengerjakan kebaikan” di dalam ayat itu ialah mengerjakan kebaikan dengan serius dan sesuai dengan sunnah Rasulullah saw.

Fudhail bin Iyadh pernah memberi komentar tentang ayat 2 surat Al-Mulk, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala, supaya Allah menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” Menurutnya, maksud “yang lebih baik amalnya” adalah amal yang didasari keikhlasan dan sesuai dengan sunnah Nabi saw.

Seseorang bertanya kepadanya, “Apa yang dimaksud dengan amal yang ikhlas dan benar itu?” Fudhail menjawab, “Sesungguhnya amal yang dilandasi keikhlasan tetapi tidak benar, tidak diterima oleh Allah swt. Sebaliknya, amal yang benar tetapi tidak dilandasi keikhlasan juga tidak diterima oleh Allah swt. Amal perbuatan itu baru bisa diterima Allah jika didasari keikhlasan dan dilaksanakan dengan benar. Yang dimaksud ‘ikhlas’ adalah amal perbuatan yang dikerjakan semata-mata karena Allah, dan yang dimaksud ‘benar’ adalah amal perbuatan itu sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw.” Setelah itu Fudhail bin Iyad membacakan surat Al-Kahfi ayat 110, “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”

Jadi, niat yang ikhlas saja belum menjamin amal kita diterima oleh Allah swt., jika dilakukan tidak sesuai dengan apa yang digariskan syariat. Begitu juga dengan perbuatan mulia, tidak diterima jika dilakukan dengan tujuan tidak mencari keridhaan Allah swt.

Delapan Tanda Keikhlasan

Ada delapan tanda-tanda keikhlasan yang bisa kita gunakan untuk mengecek apakah rasa ikhlas telah mengisi relung-relung hati kita. Kedelapan tanda itu adalah:

1. Keikhlasan hadir bila Anda takut akan popularitas

Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata, “Sedikit sekali kita melihat orang yang tidak menyukai kedudukan dan jabatan. Seseorang bisa menahan diri dari makanan, minuman, dan harta, namun ia tidak sanggup menahan diri dari iming-iming kedudukan. Bahkan, ia tidak segan-segan merebutnya meskipun harus menjegal kawan atau lawan.” Karena itu tak heran jika para ulama salaf banyak menulis buku tentang larangan mencintai popularitas, jabatan, dan riya.
Fudhail bin Iyadh berkata, “Jika Anda mampu untuk tidak dikenal oleh orang lain, maka laksanakanlah. Anda tidak merugi sekiranya Anda tidak terkenal. Anda juga tidak merugi sekiranya Anda tidak disanjung ornag lain. Demikian pula, janganlah gusar jika Anda menjadi orang yang tercela di mata manusia, tetapi menjadi manusia terpuji dan terhormat di sisi Allah.”

Meski demikian, ucapan para ulama tersebut bukan menyeru agar kita mengasingkan diri dari khalayak ramai (uzlah). Ucapan itu adalah peringatan agar dalam mengarungi kehidupan kita tidak terjebak pada jerat hawa nafsu ingin mendapat pujian manusia. Apalagi, para nabi dan orang-orang saleh adalah orang-orang yang popular. Yang dilarang adalah meminta nama kita dipopulerkan, meminta jabatan, dan sikap rakus pada kedudukan. Jika tanpa ambisi dan tanpa meminta kita menjadi dikenal orang, itu tidak mengapa. Meskipun itu bisa menjadi malapetaka bagi orang yang lemah dan tidak siap menghadapinya.

2. Ikhlah ada saat Anda mengakui bahwa diri Anda punya banyak kekurangan

Orang yang ikhlas selalu merasa dirinya memiliki banyak kekurangan. Ia  merasa belum maksimal dalam menjalankan segala kewajiban yang dibebankan Allah swt. Karena itu ia tidak pernah merasa ujub dengan setiap kebaikan yang dikerjakannya. Sebaliknya, ia cemasi apa-apa yang dilakukannya tidak diterima Allah swt. karena itu ia kerap menangis.

Aisyah r.a. pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang maksud firman Allah: “Dan orang-ornag yang mengeluarkan rezeki yang dikaruniai kepada mereka, sedang hati mereka takut bahwa mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” Apakah mereka itu orang-orang yang mencuri, orang-orang yang berzina, dan para peminum minuman keras, sedang mereka takut akan siksa dan murka Allah ‘Azza wa jalla? Rasulullah saw. menjawab, “Bukan, wahai Putri Abu Bakar. Mereka itu adalah orang-orang yang rajin shalat, berpuasa, dan sering bersedekah, sementera mereka khawatir amal mereka tidak diterima. Mereka bergegas dalam menjalankan kebaikan dan mereka orang-orang yang berlomba.” (Ahmad).

3. Keikhlasan hadir ketika Anda lebih cenderung untuk menyembunyikan amal kebajikan

Orang yang tulus adalah orang yang tidak ingin amal perbuatannya diketahui orang lain. Ibarat pohon, mereka lebih senang menjadi akar yang tertutup tanah tapi menghidupi keseluruhan pohon. Ibarat rumah, mereka pondasi yang berkalang tanah namun menopang keseluruhan bangunan.
Suatu hari Umar bin Khaththab pergi ke Masjid Nabawi. Ia mendapati Mu’adz sedang menangis di dekat makam Rasulullah saw. Umar menegurnya, “Mengapa kau menangis?” Mu’adz menjawab, “Aku telah mendengar hadits dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, ‘Riya sekalipun hanya sedikit, ia termasuk syirik. Dan barang siapa memusuhi kekasih-kekasih Allah maka ia telah menyatakan perang terhadap Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang baik, takwa, serta tidak dikenal. Sekalipun mereka tidak ada, mereka tidak hilang dan sekalipun mereka ada, mereka tidak dikenal. Hati mereka bagaikan pelita yang menerangi petunjuk. Mereka keluar dari segala tempat yang gelap gulita.” (Ibnu Majah dan Baihaqi)

4. Ikhlas ada saat Anda tak masalah ditempatkan sebagai pemimpin atau prajurit

Rasulullah saw. melukiskan tipe orang seperti ini dengan berkataan, “Beruntunglah seorang hamba yang memegang tali kendali kudanya di jalan Allah sementara kepala dan tumitnya berdebu. Apabila ia bertugas menjaga benteng pertahanan, ia benar-benar menjaganya. Dan jika ia bertugas sebagai pemberi minuman, ia benar-benar melaksanakannya.”
Itulah yang terjadi pada diri Khalid bin Walid saat Khalifah Umar bin Khaththab memberhentikannya dari jabatan panglima perang. Khalid tidak kecewa apalagi sakit hati. Sebab, ia berjuang bukan untuk Umar, bukan pula untuk komandan barunya Abu Ubaidah. Khalid berjuang untuk mendapat ridha Allah swt.

5. Keikhalasan ada ketika Anda mengutamakan keridhaan Allah daripada keridhaan manusia

Tidak sedikit manusia hidup di bawah bayang-bayang orang lain. Bila orang itu menuntun pada keridhaan Allah, sungguh kita sangat beruntung. Tapi tak jarang orang itu memakai kekuasaannya untuk memaksa kita bermaksiat kepada Allah swt. Di sinilah keikhlasan kita diuji. Memilih keridhaan Allah swt. atau keridhaan manusia yang mendominasi diri kita? Pilihan kita seharusnya seperti pilihan Masyithoh si tukang sisir anak Fir’aun. Ia lebih memilih keridhaan Allah daripada harus menyembah Fir’aun.

6. Ikhlas ada saat Anda cinta dan marah karena Allah

Adalah ikhlas saat Anda menyatakan cinta dan benci, memberi atau menolak, ridha dan marah kepada seseorang atau sesuatu karena kecintaan Anda kepada Allah dan keinginan membela agamaNya, bukan untuk kepentingan pribadi Anda. Sebaliknya, Allah swt. mencela orang yang berbuat kebalikan dari itu. “Dan di antara mereka ada orang yang mencela tentang (pembagian) zakat. Jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.” (At-Taubah: 58)
7. Keikhalasan hadir saat Anda sabar terhadap panjangnya jalan

Keikhlasan Anda akan diuji oleh waktu. Sepanjang hidup Anda adalah ujian. Ketegaran Anda untuk menegakkan kalimatNya di muka bumi meski tahu jalannya sangat jauh, sementara hasilnya belum pasti dan kesulitan sudah di depan mata, amat sangat diuji. Hanya orang-orang yang mengharap keridhaan Allah yang bisa tegar menempuh jalan panjang itu. Seperti Nabi Nuh a.s. yang giat tanpa lelah selama 950 tahun berdakwah. Seperti Umar bin Khaththab yang berkata, “Jika ada seribu mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada seratus mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada sepuluh mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada satu mujahid berjuang di medan juang, itulah aku!”

8. Ikhlas ada saat Anda merasa gembira jika kawan Anda memiliki kelebihan

Yang paling sulit adalah menerima orang lain memiliki kelebihan yang tidak kita miliki. Apalagi orang itu junior kita. Hasad. Itulah sifat yang menutup keikhlasan hadir di relung hati kita. Hanya orang yang ada sifat ikhlas dalam dirinya yang mau memberi kesempatan kepada orang yang mempunyai kemampuan yang memadai untuk mengambil bagian dari tanggung jawab yang dipikulnya. Tanpa beban ia mempersilakan orang yang lebih baik dari dirinya untuk tampil menggantikan dirinya. Tak ada rasa iri. Tak ada rasa dendam. Jika seorang leader, orang seperti ini tidak segan-segan membagi tugas kepada siapapun yang dianggap punya kemampuan.