Powered By Blogger

Jumat, 27 Agustus 2010

DELAPAN TANDA ORANG IKHLAS

Amal yang kita lakukan akan diterima Allah jika memenuhi dua rukun. Pertama, amal itu harus didasari oleh keikhlasan dan niat yang murni: hanya mengharap keridhaan Allah swt. Kedua, amal perbuatan yang kita lakukan itu harus sesuai dengan sunnah Nabi saw.

Syarat pertama menyangkut masalah batin. Niat ikhlas artinya saat melakukan amal perbuatan, batin kita harus benar-benar bersih. Rasulullah saw. bersabda, “Innamal a’maalu bin-niyyaat, sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niatnya.” (Bukhari dan Muslim). Berdasarkan hadits itu, maka diterima atau tidaknya suatu amal perbuatan yang kita lakukan oleh Allah swt. sangat bergantung pada niat kita.

Sedangkan syarat yang kedua, harus sesuai dengan syariat Islam. Syarat ini menyangkut segi lahiriah. Nabi saw. berkata, “Man ‘amala ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa raddun, barangsiapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak pernah kami diperintahkan, maka perbuatan itu ditolak.” (Muslim).

Tentang dua syarat tersebut, Allah swt. menerangkannya di sejumlah ayat dalam Alquran. Di antaranya dua ayat ini. “Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh….” (Luqman: 22). “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan….” (An-Nisa: 125)

Yang dimaksud dengan “menyerahkan diri kepada Allah” di dua ayat di atas adalah mengikhlaskan niat dan amal perbuatan hanya karena Allah semata. Sedangkan yang yang dimaksud dengan “mengerjakan kebaikan” di dalam ayat itu ialah mengerjakan kebaikan dengan serius dan sesuai dengan sunnah Rasulullah saw.

Fudhail bin Iyadh pernah memberi komentar tentang ayat 2 surat Al-Mulk, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala, supaya Allah menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” Menurutnya, maksud “yang lebih baik amalnya” adalah amal yang didasari keikhlasan dan sesuai dengan sunnah Nabi saw.

Seseorang bertanya kepadanya, “Apa yang dimaksud dengan amal yang ikhlas dan benar itu?” Fudhail menjawab, “Sesungguhnya amal yang dilandasi keikhlasan tetapi tidak benar, tidak diterima oleh Allah swt. Sebaliknya, amal yang benar tetapi tidak dilandasi keikhlasan juga tidak diterima oleh Allah swt. Amal perbuatan itu baru bisa diterima Allah jika didasari keikhlasan dan dilaksanakan dengan benar. Yang dimaksud ‘ikhlas’ adalah amal perbuatan yang dikerjakan semata-mata karena Allah, dan yang dimaksud ‘benar’ adalah amal perbuatan itu sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw.” Setelah itu Fudhail bin Iyad membacakan surat Al-Kahfi ayat 110, “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”

Jadi, niat yang ikhlas saja belum menjamin amal kita diterima oleh Allah swt., jika dilakukan tidak sesuai dengan apa yang digariskan syariat. Begitu juga dengan perbuatan mulia, tidak diterima jika dilakukan dengan tujuan tidak mencari keridhaan Allah swt.

Delapan Tanda Keikhlasan

Ada delapan tanda-tanda keikhlasan yang bisa kita gunakan untuk mengecek apakah rasa ikhlas telah mengisi relung-relung hati kita. Kedelapan tanda itu adalah:

1. Keikhlasan hadir bila Anda takut akan popularitas

Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata, “Sedikit sekali kita melihat orang yang tidak menyukai kedudukan dan jabatan. Seseorang bisa menahan diri dari makanan, minuman, dan harta, namun ia tidak sanggup menahan diri dari iming-iming kedudukan. Bahkan, ia tidak segan-segan merebutnya meskipun harus menjegal kawan atau lawan.” Karena itu tak heran jika para ulama salaf banyak menulis buku tentang larangan mencintai popularitas, jabatan, dan riya.
Fudhail bin Iyadh berkata, “Jika Anda mampu untuk tidak dikenal oleh orang lain, maka laksanakanlah. Anda tidak merugi sekiranya Anda tidak terkenal. Anda juga tidak merugi sekiranya Anda tidak disanjung ornag lain. Demikian pula, janganlah gusar jika Anda menjadi orang yang tercela di mata manusia, tetapi menjadi manusia terpuji dan terhormat di sisi Allah.”

Meski demikian, ucapan para ulama tersebut bukan menyeru agar kita mengasingkan diri dari khalayak ramai (uzlah). Ucapan itu adalah peringatan agar dalam mengarungi kehidupan kita tidak terjebak pada jerat hawa nafsu ingin mendapat pujian manusia. Apalagi, para nabi dan orang-orang saleh adalah orang-orang yang popular. Yang dilarang adalah meminta nama kita dipopulerkan, meminta jabatan, dan sikap rakus pada kedudukan. Jika tanpa ambisi dan tanpa meminta kita menjadi dikenal orang, itu tidak mengapa. Meskipun itu bisa menjadi malapetaka bagi orang yang lemah dan tidak siap menghadapinya.

2. Ikhlah ada saat Anda mengakui bahwa diri Anda punya banyak kekurangan

Orang yang ikhlas selalu merasa dirinya memiliki banyak kekurangan. Ia  merasa belum maksimal dalam menjalankan segala kewajiban yang dibebankan Allah swt. Karena itu ia tidak pernah merasa ujub dengan setiap kebaikan yang dikerjakannya. Sebaliknya, ia cemasi apa-apa yang dilakukannya tidak diterima Allah swt. karena itu ia kerap menangis.

Aisyah r.a. pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang maksud firman Allah: “Dan orang-ornag yang mengeluarkan rezeki yang dikaruniai kepada mereka, sedang hati mereka takut bahwa mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” Apakah mereka itu orang-orang yang mencuri, orang-orang yang berzina, dan para peminum minuman keras, sedang mereka takut akan siksa dan murka Allah ‘Azza wa jalla? Rasulullah saw. menjawab, “Bukan, wahai Putri Abu Bakar. Mereka itu adalah orang-orang yang rajin shalat, berpuasa, dan sering bersedekah, sementera mereka khawatir amal mereka tidak diterima. Mereka bergegas dalam menjalankan kebaikan dan mereka orang-orang yang berlomba.” (Ahmad).

3. Keikhlasan hadir ketika Anda lebih cenderung untuk menyembunyikan amal kebajikan

Orang yang tulus adalah orang yang tidak ingin amal perbuatannya diketahui orang lain. Ibarat pohon, mereka lebih senang menjadi akar yang tertutup tanah tapi menghidupi keseluruhan pohon. Ibarat rumah, mereka pondasi yang berkalang tanah namun menopang keseluruhan bangunan.
Suatu hari Umar bin Khaththab pergi ke Masjid Nabawi. Ia mendapati Mu’adz sedang menangis di dekat makam Rasulullah saw. Umar menegurnya, “Mengapa kau menangis?” Mu’adz menjawab, “Aku telah mendengar hadits dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, ‘Riya sekalipun hanya sedikit, ia termasuk syirik. Dan barang siapa memusuhi kekasih-kekasih Allah maka ia telah menyatakan perang terhadap Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang baik, takwa, serta tidak dikenal. Sekalipun mereka tidak ada, mereka tidak hilang dan sekalipun mereka ada, mereka tidak dikenal. Hati mereka bagaikan pelita yang menerangi petunjuk. Mereka keluar dari segala tempat yang gelap gulita.” (Ibnu Majah dan Baihaqi)

4. Ikhlas ada saat Anda tak masalah ditempatkan sebagai pemimpin atau prajurit

Rasulullah saw. melukiskan tipe orang seperti ini dengan berkataan, “Beruntunglah seorang hamba yang memegang tali kendali kudanya di jalan Allah sementara kepala dan tumitnya berdebu. Apabila ia bertugas menjaga benteng pertahanan, ia benar-benar menjaganya. Dan jika ia bertugas sebagai pemberi minuman, ia benar-benar melaksanakannya.”
Itulah yang terjadi pada diri Khalid bin Walid saat Khalifah Umar bin Khaththab memberhentikannya dari jabatan panglima perang. Khalid tidak kecewa apalagi sakit hati. Sebab, ia berjuang bukan untuk Umar, bukan pula untuk komandan barunya Abu Ubaidah. Khalid berjuang untuk mendapat ridha Allah swt.

5. Keikhalasan ada ketika Anda mengutamakan keridhaan Allah daripada keridhaan manusia

Tidak sedikit manusia hidup di bawah bayang-bayang orang lain. Bila orang itu menuntun pada keridhaan Allah, sungguh kita sangat beruntung. Tapi tak jarang orang itu memakai kekuasaannya untuk memaksa kita bermaksiat kepada Allah swt. Di sinilah keikhlasan kita diuji. Memilih keridhaan Allah swt. atau keridhaan manusia yang mendominasi diri kita? Pilihan kita seharusnya seperti pilihan Masyithoh si tukang sisir anak Fir’aun. Ia lebih memilih keridhaan Allah daripada harus menyembah Fir’aun.

6. Ikhlas ada saat Anda cinta dan marah karena Allah

Adalah ikhlas saat Anda menyatakan cinta dan benci, memberi atau menolak, ridha dan marah kepada seseorang atau sesuatu karena kecintaan Anda kepada Allah dan keinginan membela agamaNya, bukan untuk kepentingan pribadi Anda. Sebaliknya, Allah swt. mencela orang yang berbuat kebalikan dari itu. “Dan di antara mereka ada orang yang mencela tentang (pembagian) zakat. Jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.” (At-Taubah: 58)
7. Keikhalasan hadir saat Anda sabar terhadap panjangnya jalan

Keikhlasan Anda akan diuji oleh waktu. Sepanjang hidup Anda adalah ujian. Ketegaran Anda untuk menegakkan kalimatNya di muka bumi meski tahu jalannya sangat jauh, sementara hasilnya belum pasti dan kesulitan sudah di depan mata, amat sangat diuji. Hanya orang-orang yang mengharap keridhaan Allah yang bisa tegar menempuh jalan panjang itu. Seperti Nabi Nuh a.s. yang giat tanpa lelah selama 950 tahun berdakwah. Seperti Umar bin Khaththab yang berkata, “Jika ada seribu mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada seratus mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada sepuluh mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada satu mujahid berjuang di medan juang, itulah aku!”

8. Ikhlas ada saat Anda merasa gembira jika kawan Anda memiliki kelebihan

Yang paling sulit adalah menerima orang lain memiliki kelebihan yang tidak kita miliki. Apalagi orang itu junior kita. Hasad. Itulah sifat yang menutup keikhlasan hadir di relung hati kita. Hanya orang yang ada sifat ikhlas dalam dirinya yang mau memberi kesempatan kepada orang yang mempunyai kemampuan yang memadai untuk mengambil bagian dari tanggung jawab yang dipikulnya. Tanpa beban ia mempersilakan orang yang lebih baik dari dirinya untuk tampil menggantikan dirinya. Tak ada rasa iri. Tak ada rasa dendam. Jika seorang leader, orang seperti ini tidak segan-segan membagi tugas kepada siapapun yang dianggap punya kemampuan.

Selasa, 17 Agustus 2010

Syarat Diterimanya Syahadat

شُرُوْطُ قَبُوْلِ الشَّهَادَتْيِن

Dua kalimat syahadat

Syahadah yang diikrarkan seorang muslim tidak hanya sebagai ibadah lisan yang hanya diucapkan. Ia juga mencakup sikap dan perbuatan. Di mana syahadah menuntut seseorang untuk melakukan dan bersikap sesuai dengan tuntutan syahadah tersebut. Dan agar Syahadah diterima serta seseorang mendapatkan apa yang dijanjikan Allah kepadanya dengan syahadahnya itu, maka ada beberapa syarat yang mesti dimiliki oleh seseorang yang telah mengikrarkan syahadahnya. Di antaranya adalah:

1. Ilmu yang menolak kebodohan

(الْعِلْمُ الْمُنَافِي لِلْجَهْلِ )

Seseorang yang bersyahadah mesti memiliki ilmu tentang syahadatnya. Ia wajib memahami arti dua kalimat ini (Laa Ilaha Illa Allah, Muhammadur rasulullah) serta bersedia menerima hasil ucapannya. Dari kalimat syahadatain tersebut, maka seorang muslim juga harus memiliki ilmu tentang Allah, ma’rifatullah (mengenal Allah), dan ilmu tentang Rasulullah. Mengenal secara baik terhadap Allah dan Rasul-Nya menjadikan seseorang dapat memberikan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya tidak mengenal (bodoh) terhadap Allah dan Rasul-Nya menyebabkan seseorang tidak mampu menunaikan hak-hak Allah dan Rasul-Nya . Allah SWT berfirman dalam surat Muhammad:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ

”Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.” (QS. Muhammad: 19).

Orang yang jahil atau bodoh tentang makna syahadatain tidak mungkin dapat mengamalkan dua kalimat syahadat tersebut.

2. Keyakinan yang menolak keraguan

(اَلْيَقِيْنُ الْمُنَافِي لِلشَّكِّ )

Syahadah yang diikrarkan juga harus dibarengi dengan keyakinan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Yakin bahwa Allah sebagai Pencipta, Pemberi Rezki, Ma’bud (Yang layak disembah), dan lain sebagainya, serta yakin bahwa Rasulullah adalah nabi terakhir yang diutus Allah. Seseorang yang bersyahadat mesti meyakini ucapannya sebagai suatu yang diimaninya dengan sepenuh hati tanpa keraguan. Keyakinan membawa seseorang pada istiqamah dan mendorong seseorang melakukan konsekuensinya, sedangkan ragu-ragu menimbulkan kemunafikan.

Iman yang benar adalah yang tidak bercampur dengan keraguan sedikit pun tentang ketauhidan Allah, sebagaimana dalam firman-Nya:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

”Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujurat: 15).

Selain itu, keyakinan kepada Allah SWT menjadikan seseorang terpimpin dalam hidayah. Allah SWT berfirman:

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

“Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami.” (QS. As-Sajadah: 24).

Keyakinan kepada Allah menuntut keyakinan kepada firman-Nya yang tertulis pada kitab-kitab yang diturunkan kepada para nabi dan rasul. Allah SWT menurunkan kitab-kitab itu sebagai petunjuk hidup. Dan di antara ciri mukmin adalah tidak ragu terhadap kebenaran Kitabullah dan yakin terhadap hari Akhir. Sebagaimana dalam firman-Nya:

الم
ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

”Alif laam miin. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Baqarah: 1-5).



3. Keikhlasan Yang Menolak Kesyirikan

Ucapan syahadat mesti diiringi dengan niat yang ikhlas lillahi ta’ala. Ucapan syahadat yang bercampur dengan riya’ atau ada niat lain yang bukan untuk Allah SWT, maka ia akan tertolak. Terlebih lagi ketika nilai tauhid terkotori oleh kesyirikan. Ikhlas dalam bersyahadat merupakan dasar yang paling penting dalam pelaksanaan syahadat.

Syahadat merupakan ibadah, karenanya harus dilakukan dengan ikhlas. Allah SWT berfirman,

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Selain itu, kesyirikan menghapus amal-amal seseorang, betapapun banyaknya amal itu.

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

”Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65).

Dan ibadah yang tidak diniatkan dengan ikhlas tidak diterima oleh Allah Ta’ala.

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

”Katakanlah: Sesungguhnya Aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya“. (QS. Al-Kahfi: 110).

4. As-Shidqu (Benar) Yang Menolak Kebohongan (Dusta)

Dalam pernyataan syahadat muslim wajib membenarkannya tanpa dicampuri sedikit pun dusta (bohong). Ash-Shidqu ma’allah mutlak diperlukan demi menjaga kemurnian tauhid seseorang. Benar adalah landasan iman, sedangkan dusta landasan kufur. Sikap shiddiq akan menimbulkan ketaatan dan amanah. Sedangkan dusta menimbulkan kemaksiatan dan pengkhianatan. Dusta dan berbohong bertentangan dengan nilai kejujuran, membuat keimanan seseorang ditolak oleh Allah.

Ciri-ciri taqwa adalah sikap shiddiq (jujur). Sebagaimana firman Allah SWT,

وَالَّذِي جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka Itulah orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Az-Zumar: 33).

Orang yang benar dan jujur syahadahnya akan terbukti dalam medan jihad dan Allah membalas mereka, sedangkan orang-orang munafik akan mendapat siksa.

مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا
لِيَجْزِيَ اللَّهُ الصَّادِقِينَ بِصِدْقِهِمْ وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ إِنْ شَاءَ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya). Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya, dan menyiksa orang munafik jika dikehendaki-Nya, atau menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 23-24).

Sedangkan ciri kemunafikan adalah dusta. Sebagaimana dalam firman-Nya,

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ ءَامَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ
يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ
فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ

“Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian,” pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS. Al-Baqarah: 8-10).

Kebenaran dan kemunafikan diuji melalui cobaan. Untuk dilihat siapa sesungguhnya yang jujur dengan keimanannya.

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut: 2-3).

Sikap benar mengajak kepada kebaikan dan kebaikan membawa ke surga. Sifat dusta mengajak kepada keburukan dan keburukan membawa ke neraka. Rasulullah bersabda,

إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يُكْتَبَ صِدِّيقًا وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ كَذَّابًا

“Sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada kebajikan dan kebajikan menunjukkan kepada surga. Seseorang berlaku jujur sehingga ia dicatat sebagai orang jujur. Sesungguhnya dusta menunjukkan kepada kejahatan dan kejahatan menunjukkan kepada neraka. Seseorang berlaku dusta hingga ia ditulis sebagai pendusta.” (HR. Bukhari Muslim).

Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim melakukan hal-hal yang sejalan dengan keyakinannya dan meninggalkan yang meragukannya, sesungguhnya benar itu menenangkan (hati) sedangkan dusta itu meragu-ragukan.

Rasulullah bersabda,

دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ

“Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.”

5. Mahabbah (Kecintaan) Yang Menolak Kebencian.

Dalam menyatakan syahadat ia mendasarkan pernyataannya dengan cinta. Cinta ialah rasa suka yang melapangkan dada.  Ia merupakan ruh dari ibadah, sedangkan syahadatain merupakan ibadah yang paling utama. Dengan rasa cinta ini segala beban akan terasa ringan, tuntutan syahadatain akan dapat dilaksanakan dengan mudah.

Cinta kepada Allah yang teramat sangat merupakan sifat utama orang beriman. Allah berfirman,

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ

”Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zhalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (QS. Al Baqarah: 165)

Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya menyebabkan datangnya rasa manis keimanan, sabda Rasulullah saw.,

قَالَ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

”Ada tiga perkara yang barangsiapa pada dirinya terdapat perkara itu akan mendapatkan manisnya iman; agar Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada selainnya. Agar mencintai seseorang atau membencinya karena Allah. Dan agar benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci jika dilemparkan ke neraka.” (Muttafaq Alaihi).

Seorang mukmin mendahulukan kecintaan kepada Allah, Rasul dan jihad dari kecintaan terhadap yang lain.

قُلْ إِنْ كَانَ ءَابَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

”Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24),

6. Menerima Yang Jauh Dari Penolakan.

Muslim secara mutlak menerima nilai-nilai serta kandungan isi syahadatain.  Tidak ada keberatan dan tanpa rasa terpaksa sedikit pun.  Baginya tidak ada pilihan lain kecuali Kitabullah dan sunnah Rasul. Ia senantiasa siap untuk mendengar, tunduk, patuh dan taat terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya.

Mukmin adalah mereka yang bertahkim (berhukum) kepada Rasul Allah dalam seluruh persoalannya kemudian ia menerima secara total keputusan Rasul, tanpa ragu-ragu dan kebenaran sedikit pun.



فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65).

Ciri orang beriman ialah menerima ketentuan dan perintah Allah tanpa keberatan dan pilihan lain.

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36).

وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang dia kehendaki dan memilihnya. sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia).” (QS. Al-Qashash: 68).

Ciri mukmin ialah mendengar dan taat terhadap Allah dan Rasul dalam seluruh masalah hidup mereka.

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar, dan kami patuh“. dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An-Nur: 51).

7. Pelaksanaan Yang Jauh Dari Sikap Statis atau Diam.

Syahadatain hanya dapat dilaksanakan apabila diwujudkan dalam amal yang nyata. Maka muslim yang bersyahadat selalu siap melaksanakan ajaran Islam yang menjadi aplikasi syahadatain. Ia menentukan agar hukum dan undang-undang Allah berlaku pada diri, keluarga maupun masyarakatnya.

Perintah Allah untuk bekerja di jalan-Nya dengan perhitungan nilai kerja itu di sisi Allah.

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah: 105).

Orang yang beramal shalih karena Allah, baik-laki-laki maupun perempuan akan mendapat kehidupan yang baik dan surga Allah.

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)



Sumber : http://www.dakwatuna.com/

Hal-Hal Yang Merusak Tauhid

Oleh : Dr. Amir Faishol Fath


Dengan mengucapkan dua kalimat syahadat seseorang berarti telah mempersaksikan diri sebagai hamba Allah semata. Kalimat laa ilaaha illallaahu dan Muhammadur Rasuulullah selalu membekas dalam jiwanya dan menggerakkan anggota tubuhnya agar tidak menyembah selain-Nya. Baginya hanya Allah sebagai Tuhan yang harus ditaati, diikuti ajaran-Nya, dipatuhi perintah-Nya dan dijauhi larangan-Nya. Caranya bagaimana, lihatlah pribadi Rasulullah saw. sebab dialah contoh hamba Allah sejati.

Dalam pembukaan surat Al-Israa’, Allah telah mendeklarasikan bahwa Rasulullah saw. adalah hamba-Nya: Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha (Al-Israa’:1). Begitu juga dalam pembukaan surat Al-Kahfi, Allah berfirman: Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya (Al-Kahfi:1).

Ini menunjukkan bahwa agar makna dua kalimat syahadat – yang intinya adalah tauhid – benar-benar tercermin dalam jiwa dan perbuatan, tidak ada pilihan bagi seorang hamba kecuali mencontoh pribadi Rasulullah saw. dalam segala sisi kehidupannya, baik dari sisi aqidah dan ibadah, maupun sisi-sisi lainnya seperti sikapnya terhadap istri dan pelayannya di rumah, pergaulannya bersama-sahabatnya, akhlaqnya dalam melakukan transaksi bisnis dan kepemimpinannya sebagai kepala Negara. Maka untuk menjaga kemurnian tauhid, seperti yang dicontohkan Rasulullah saw. seorang hamba hendaknya menghindar jauh-jauh dari hal-hal yang merusak kemurnian tauhid sebagai cerminan dua kalimat syahadat tersebut, yang setidaknya ada tiga: (a) Syirik ( menyekutukan Allah (b) Ilhad (menyimpang dari kebenaran) (c) Nifaq (berwajah dua, menampakkan diri sebagai muslim, sementara hatinya kafir).

1. Syirik (menyekutukan Allah)

a). Definisi: Syirik adalah lawan kata dari tauhid. Yaitu sikap menyekutukan Allah secara zat, sifat, perbuatan dan ibadah. Adapun syirik secara zat adalah dengan meyakini bahwa zat Allah seperti zat makhluk-Nya. Aqidah ini dianut oleh kelompok mujassimah. Syirik secara sifat artinya: seseorang meyakini bahwa sifat-sifat makhluk sama dengan sifat-sifat Allah. Dengan kata lain bahwa makhluk mempunyai sifat-sifat seperti sifat-sifat Allah, tidak ada bedanya sama sekali. Syirik secara perbuatan artinya: seseorang meyakini bahwa makhluk mengatur alam semesta dan rezki manusia seperti yang telah diperbuat Allah selama ini. Sedangkan syirik secara ibadah artinya: seseorang menyembah selain Allah dan mengagungkannya seperti mengagungkan Allah serta mencintainya seperti mencintai Allah. Syirik-syirik dalam pengertian tersebut secara eksplisit maupun implisit telah ditolak oleh Islam. karenanya seorang muslim harus benar-benar hat-hati dan menghindar jauh-jauh dari syirik-syirik seperti yang telah diterangkan di atas.

b) Bentuk-bentuk Syirik: Pertama, menyembah patung atau berhala (al ashnaam). Allah swt. dalam surat Al-Hajj:30 berfirman, “maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta”. Dalam surat Maryam:42 diceritakan bahwa Nabi Ibrahim menegur ayahnya karena menyembah patung: Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya, “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun?”

Kedua, menyembah matahari, dalam surat Al-A’raaf:54 Allah menolak orang-orang yang menyembah matahari, bulan dan bintang, “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas `Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”. Lalu dalam surat Fushshilat:37 lebih tegas lagi Allah berfirman, “Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah Yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah”.

Ketiga, menyembah malaikat dan jin, dalam surat Al-An’aam:100 Allah berfirman: Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu, dan mereka membohong (dengan mengatakan), “Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan”, tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari sifat-sifat yang mereka berikan”. Dalam surat Saba’:40-41, “Dan (ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka semuanya kemudian Allah berfirman kepada malaikat, “Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?”. Malaikat-malaikat itu menjawab, “Maha Suci Engkau. Engkaulah pelindung kami, bukan mereka: bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu”.

Keempat, menyembah para nabi, seperti Nabi Isa as. yang disembah kaum Nasrani dan Uzair yang disembah kaum Yahudi. Keduanya sama-sama dianggap anak Allah. Allah berfirman, “Orang-orang Yahudi berkata, “Uzair itu putra Allah” dan orang Nasrani berkata, “Al-Masih itu putra Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?” (At-Taubah:30). Dalam surat Al-Maidah:72, “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya Allah adalah Al-Masih putra Maryam”, padahal Al-Masih (sendiri) berkata, “Hai Bani Israel, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun”.

Kelima, Menyembah Rahib atau Pendeta, Allah berfirman, “Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. Adi bin Hatim ra. pernah bertanya kepada Rasulullah mengenai hal tersebut, seraya berkata, “Sebenarnya mereka tidak menyembah Pendeta atau Rahib mereka?” Rasululah saw. menjawab: Benar, tetapi para rahib atau pendeta itu telah mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, sementara mereka mengikutinya. Bukankah itu tindak penyembahan terhadap mereka?

Keenam, menyembah Thagut. Istilah thagut diambil dari kata thughyaan artinya melampaui batas. Maksudnya: segala sesuatu yang disembah selain Allah. Setiap seruan para rasul intinya adalah mengajak kepada tauhid dan menjauhi thagut. Allah berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)” (An-Nahl:36). Dan tauhid yang murni tidak akan bisa dicapai tanpa menghindar dari menyembah thagut, Allah berfirman: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (Al-Baqarah:256). Allah bangga dengan orang-orang beriman yang menjauhi thagut, “Dan orang-orang yang menjauhi thagut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku: (Az Zumar:17).

Ketujuh, menyembah hawa nafsu. Hawa nafsu adalah kecenderungan untuk melakukan keburukan. Seseorang yang menuhankan hawa nafsu ia mengutamakan keinginan nafsunya di atas cintanya kepada Allah. Dengan demikian ia telah mentaati hawa nafsunya dan menyembahnya. Allah berfirman: Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? (Al-Furqaan:43). Dalam surat Al-Jatsiyah:23, “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”

c) Macam-macam Syirik: Ada dua macam syirik: (a) Syirik besar (b) syirik kecil. Masing-masing dari kedua macam ini mempunyai dua dimensi: zhahir (nampak) dan khafiy (tersembunyi). Marilah kita bahas satu-satu persatu dari kedua macam syirik tersebut.

Pertama, Syirik besar (Asy Syirkul Akbar), yaitu tindakan menyekutukan Allah dengan makhluk-Nya. Dikatakan syirik besar karena dengannya seseorang tidak akan diampuni dosanya dan tidak akan masuk surga. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya” (An Nisaa’:116). Ilustarsi syirik besar ini dibagi dua dimensi: dzahir dan khafiy. Yang zhahir bisa dicontohkan seperti menyembah bintang, matahari, bulan, patung-patung, batu-batu, pohon-pohon besar, manusia (seperti menyembah Fir’un, raja-raja, Budha, Isa ibn Maryam, malaikat, Jin dan Syetan. Sementara yang khafiy bisa dicontohkan seperti meminta kepada orang-orang yang sudah mati dengan keyakinan bahwa mereka bisa memenuhi apa yang mereka yakini, atau menjadikan seseorang sebagai pembuat hukum, menghalalkan dan mengharamkan seperti Allah swt.

Kedua, syirik kecil (Asyirkul Ashghar), yaitu suatu tindakan yang mengarah kepada syirik, tetapi belum sampai ketingkat keluar dari tauhid, hanya saja mengurangi kemurnian nya. Syirik Ashghar ini juga dua dimensi: zhahir dan khafiy. Yang zhahir bisa berupa lafal (pernyataan) dan perbuatan. (a) Yang berupa lafal contohnya: bersumpah dengan nama selain Allah dan mengarah ke syirik, seperti pernyataan: demi Nabi, demi Ka’bah, demi Kakek dan Nenek dan lain sebagainya. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda: man halafa bighirillahi faqad kafara wa asyraka (siapa yang bersumpah dengan selain maka ia kafir dan musyrik) (HR. Turmidzi no 1535). Termasuk lafal yang mengarah ke syirik pernyataan: kalau tidak karena Allah dan si fulan niscaya ini tidak akan terjadi, atau memberikan nama seperti abdul ka’bah dan lain sebagainya. (b) Adapun yang berupa perbuatan contohnya: mengalungkan jimat dengan keyakinan bahwa itu bisa menyelamatkan dari mara bahaya dan sebagainya.

Adapun syirik Ashghar yang khafiy, biasanya berupa niat atau keinginan, seperti riya’ dan sum’ah. Yaitu melakukan tindak ketaatan kepada Allah dengan niat ingin dipuji orang dan lain sebagainya. Seperti menegakkan shalat dengan nampak khusyu’ karena sedang di samping calon mertuanya, supaya dipuji sebagai orang saleh, padahal di saat shalat sendirian tidak demikian. Riya’ adalah termasuk dosa hati yang sangat berbahaya. Sebab Islam sangat memperhatikan perbuatan hati sebagai factor yang menentukan bagi baik tidaknya perbuatan zhahir. Allah berfirman, “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebut nya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir” (Al-Baqarah:264). Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda: man samma’a sammallahu bihii, waman yraa’ii yraaillahu bihii (Siapa yang menampakkan amalnya dengan maksud riya’ Allah akan menyingkapnya di hari Kiamat, dan siapa yang menunjukkan amal shalehnya dengan maksud ingin dipuji orang, Allah mengeluarkan rahasia tersebut di hari Kiamat (HR. Bukhari:288 dan Muslim no. 2987).

d) Bahaya-bahaya Syirik: Pertama, Syirik adalah kezhaliman yang nyata. Allah berfirman: innasy syirka ladzlumun adziim (sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar) (Luqman:13). Mengapa sebab dengan berbuat syirik seseorang telah menjadikan dirinya sebagai hamba makhluk yang sama dengan dirinya, tidak berdaya apa-apa.

Kedua, Syirik merupakan sumber khurafat, sebab orang-orang yang meyakini bahwa selain Allah seperti bintang, matahari, kayu besar dan lain sebagainya bisa memberikan manfaat atau bahaya berarti ia telah siap melakukan segala khurafat dengan mendatangi para dukun, kuburan-kuburan angker dan mengalungkan jimat di lehernya.

Ketiga, Syirik sumber ketakutan dan kesengsaraan, Allah berfirman, “Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu. Tempat kembali mereka ialah neraka; dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal orang-orang yang zhalim” (Ali Imran:151)

Keempat, Syirik merendahkan derajat kemanusiaan, Allah berfirman, “Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh” (Al-Hajj:31).

Kelima, syirik menghancurkan kecerdasan manusia, Allah berfirman, “Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata, “Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah”. Katakanlah, “Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?” Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka mempersekutukan (itu)” (Yunus:18).

Keenam, di akhirat nanti orang-orang musyrik tidak akan mendapatkan ampunan Allah, dan akan masuk neraka selama-lamanya. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya” (An Nisaa’:116) Dalam surat Al-Maidah:72, “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun”.

e) Sebab-sebab Syirik: Ada beberapa sebab fundamental munculnya syirik: (a) Al-Jahlu (kebodohan). Karenanya masyarakat sebelum datangnya Islam disebut dengan masyarakat jahiliyah. Sebab mereka tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Dalam kondisi yang penuh dengan kebodohan itu, orang-orang cenderung berbuat syirik. Karenanya semakin jahiliyah suatu kaum, bisa dipastikan kecenderungan berbuat syirik semakin kuat. Dan biasanya di tengah masyarakat jahiliyah para dukun selalu menjadi rujukan utama. Mengapa, sebab mereka bodoh, dan dengan kebodohannya mereka tidak tahu bagaimana seharusnya mengatasi berbagai persoalan yang mereka hadapi. Ujung-ujungnya para dukun sebagai nara sumber yang sangat mereka agungkan.

(b) dhu’ful iimaan (lemahnya iman). Seorang yang lemah imannya cenderung berbuat maksiat. Sebab rasa takut kepada Allah tidak kuat. Lemahnya rasa takut akan dimanfaatkan oleh hawa nafsu untuk menguasai dirinya. Ketika seseorang dibimbing oleh hawa nafsunya maka tidak mustahil ia akan jatuh ke dalam perbuatan-perbuatan syirik, seperti memohon kepada pohonan besar karena ingin segera kaya, datang ke kuburan para wali untuk minta pertolongan agar ia dipilih jadi presiden atau selalu merujuk kepada para dukun untuk supaya penampilannya tetap memikat hati banyak orang dan lain sebagainya.

(c) taqliid (taklid buta). Di dalam Al-Qur’an selalu digambarkan orang-orang yang menyekutukan Allah dengan alasan karena mengikuti jejak nenek moyang mereka. Allah berfirman, “Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata, “Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya. Katakanlah, “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji.” Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” (Al-A’raf:28). Dalam surat Al-Baqarah:170, “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” Dalam surat Al-Maidah:104, “Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”. Mereka menjawab, “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?

2. Al-Ilhaad (Menyimpang Dari Kebenaran)

Penggunaan istilah al ilhaad dalam Al-Qur’an: Al-Qur’an menggunakan istilah ilhaad di banyak tempat, kadang berbentuk kosa kata yulhiduun sebagaimana berikut: Dalam surat Al-A’raf:

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. Dalam surat An Nahl 10:

وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّهُمْ يَقُولُونَ إِنَّمَا يُعَلِّمُهُ بَشَرٌ لِسَانُ الَّذِي يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ أَعْجَمِيٌّ وَهَذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُبِينٌ

Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata, “Sesungguhnya Al-Qur’an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)”. Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa `Ajam, sedang Al-Qur’an adalah dalam bahasa Arab yang terang. Dalam surat Fushshilat:4:

إِنَّ الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي ءَايَاتِنَا لَا يَخْفَوْنَ عَلَيْنَا أَفَمَنْ يُلْقَى فِي النَّارِ خَيْرٌ أَمْ مَنْ يَأْتِي ءَامِنًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami, mereka tidak tersembunyi dari Kami. Maka apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik ataukah orang-orang yang datang dengan aman sentosa pada hari kiamat? Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.Kadang berbentuk kosa kata ilhaad, Allah berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ الَّذِي جَعَلْنَاهُ لِلنَّاسِ سَوَاءً الْعَاكِفُ فِيهِ وَالْبَادِ وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ

Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah dan Masjidil haram yang telah Kami jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zhalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih (Al-Hajj:25) Dan kadang berbentuk kosa kata multahadaa Allah berfirman:

وَاتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنْ كِتَابِ رَبِّكَ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَلَنْ تَجِدَ مِنْ دُونِهِ مُلْتَحَدًا

Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Tuhan-mu (Al-Qur’an). Tidak ada (seorang pun) yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya. Dan kamu tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain daripada-Nya (Al-Kahfi:27)

قُلْ إِنِّي لَنْ يُجِيرَنِي مِنَ اللَّهِ أَحَدٌ وَلَنْ أَجِدَ مِنْ دُونِهِ مُلْتَحَدًا

Katakanlah, “Sesungguhnya aku sekali-kali tiada seorang pun yang dapat melindungiku dari (azab) Allah dan sekali-kali tiada akan memperoleh tempat berlindung selain daripada-Nya” Al-Jin:22).Arti al ilhaad menurut para ulama: Al-Farra’ mengatakan bahwa kata yulhiduun atau yalhaduun artinya condong kepadanya. Imam Al-Harrani dari Ibn Sikkit mengatakan: al mulhid artinya orang yang menyimpang dari kebenaran, dan memasukkan sesuatu yang lain kepadanya. Dalam Lisanul Arab dikatakan: al ilhaad artinya menyimpang dari maksud yang sebenarnya. Meragukan Allah juga termasuk ilhaad. Dikatakan juga bahwa setiap tindak kezhaliman dalam bahasa Arab disebut ilhaad. Karenanya dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa monopoli makanan di tanah haram itu termasul ilhad. Ketika dikatakan laa tulhid fil hayaati itu artinya jangan kau menyimpang dari kebenaran selama hidupmu.

Imam Ashfahani dalam bukunya mufradaat alfadhil Qur’an mengatakan bahwa kata al ilhaad artinya menyimpang dari kebenaran. Dalam hal ini –kata Al-Ashfahani- ada dua makna: Pertama, ilhad yang identik dengan syirik, bila ini dilakukan maka otomatis seseorang menjadi kafir. Kedua, ilhad yang mendekati syirik, ini tidak membuat seseorang menjadi kafir, tetapi setidaknya telah mengurangi kemurnian tauhid nya. Termasuk sikap ini apa yang digambarkan dalam firman Allah:

وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ

siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih (Al-Hajj:25).Dalam menafsirkan ayat

وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ

(dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya), Imam Al-Ashfahani menyebutkan bahwa ada dua macam dalam ilhaad kepada nama-nama Allah: (a) menyifati Allah dengan sifat-sifat yang tidak pantas disebut sebagai sifat Allah (b) menafsirkan nama-nama Allah dengan makna yang tidak sesuai dengan keagungannya (Lihat Mufradat Alfaadzul Qur’an h.737).

Hakikat Ilhad

berdasarkan keterangan di atas baik ditinjau dari segi bahasa maupun definisi yang disampaikan para ulama nampak bahwa istilah ilhad digunakan untuk segala tindakan yang menyimpang dari kebenaran. Jadi setiap penyimpangan dari kebenaran disebut ilhad. Tetapi secara definitif ia lebih khusus digunakan untuk sikap yang menafikan sifat-sifat, nama-nama dan perbuatan Allah. Dengan kata lain para mulhidun adalah mereka yang tidak percaya adanya sifat-sifat, nama-nama dan perbuatan Allah.

Berbeda dengan kafir yang di dalamnya bisa berupa pengingkaran kepada Allah, menyekutukan-Nya dan pengingkaran terhadap nikmat-nikmat-Nya. Sementara ilhad lebih kepada pengingkaran sifat-sifat, nama-nama dan perbuatan Allah saja. Dari sini nampak bahwa tidak setiap kafir ilhad. Karenanya –seperti dikatakan dalam buku Al-Furuuq Al-Lughawiyah- orang-orang Yahudi dan Nasrani sekalipun mereka tergolong kafir, tetapi mereka tidak termasuk mulhiduun. Tetapi setiap tindakan ilhad itu termasuk kafir.

Bahaya-bahaya ilhaad

Pertama, bahwa para ulama sepakat bahwa tauhid mempunyai tiga dimensi: (a) tauhid uluhiyah, (b) tauhid rububiyah (c) tauhid asma’ dan sifat. Karena ilhad adalah tindakan menafikan sifat-sifat, nama-nama dan perbuatan Allah maka dengan melakukan ilhad seseorang telah menghapus satu dimensi dari dimensi tauhid yang sudah baku. Para ulama sepakat bahawa mengingkari salah satu dari dimensi-dimensi tauhid adalah kafir. Karena itu orang-orang mulhid tergolong orang kafir.

Kedua, bahwa dengan menafikan sifat-sifat dan nama-nama Allah berarti ia telah mengingkari ayat-ayat Al-Qur’an yang menegaskan adanya nama-nama dan sifat-sifat Allah. Para ulama sepakat bahwa mengingkari satu ayat dari ayat-ayat Al-Qur’an adalah kafir.

Ketiga, bahwa mengingkari perbuatan Allah berarti mengingkari segala wujud di alam ini sebagai ciptaan-Nya. Bila ini yang diyakini berarti telah mengingkari kekuasaan Allah sebagai Pencipta. Mengingkari kekuasaan Allah adalah kafir.

3. An Nifaaq (Wajahnya Islam, Hatinya Kafir)

Imam Al-Ashfahani menerangkan bahwa an nifaaq diambil dari kata an nafaq artinya jalan tembus. Dalam surat Al-An’aam dikatakan:

وَإِنْ كَانَ كَبُرَ عَلَيْكَ إِعْرَاضُهُمْ فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تَبْتَغِيَ نَفَقًا فِي الْأَرْضِ أَوْ سُلَّمًا فِي السَّمَاءِ فَتَأْتِيَهُمْ بِآيَةٍ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَمَعَهُمْ عَلَى الْهُدَى فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْجَاهِلِينَ

Dan jika perpalingan mereka (darimu) terasa amat berat bagimu, maka jika kamu dapat membuat lubang di bumi atau tangga ke langit lalu kamu dapat mendatangkan mukjizat kepada mereka, (maka buatlah). Kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk, sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang jahil (Al-An’aam:35). Orang Arab berkata: naafaqal yarbu’ binatang yarbu’ telah melakukan nifak, karena ia masuk ke satu lubang lalu keluar dari lubang yang lain. Dalam pengertian ini kata an nifaaq digunakan. Sebab orang-orang munafik ketika bertemu dengan orang-orang Islam mereka suka menampakkan dirinya sebagai seorang muslim, sementara ketika bertemu dengan kawan-kawan mereka sesama kafir, mereka kembali lagi ke wajah mereka yang asli, sebagai orang-orang kafir. Karenanya Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik” (At Taubah:67).

Ciri-ciri orang munafik: Di pembukaan surat Al-Baqarah setelah menceritakan ciri-ciri orang-orang beriman dan ciri-ciri orang-orang kafir, Allah lalu menceritakan ciri-ciri orang-orang munafik secara panjang lebar. Ringkasnya sebagai berikut: (a) Di mulut mereka mengatakan beriman kepada Allah dan hari Kiamat, sementara hati mereka kafir (lihat Al-Baqarah:8-10) (b) Ketika dikatakan kepada mereka agar jangan berbuat kerusakan, mereka mengaku berbuat baik(lihat Al-Baqarah:11-12). (c) Ketika bertemu dengan orang-orang beriman mereka menampakkan keimanan, tetapi ketika kembali ke kawan-kawan mereka sesama syaitan mereka kembali kafir. (d) Ibarat orang berbisnis mereka sedang membeli kekafiran dengan keimanan. Sebab setiap saat wajah mereka berganti-ganti tergantung dengan siapa mereka pada saat itu sedang bersama-sama. (e) Ibarat pejalan dalam kegelapan, setiap kali mereka menyalakan obor, seketika obor itu padam kembali. (d) Ibarat orang-orang yang ketakutan mendengarkan petir saat hujan turun, mereka selalu menutup telinga karena takut kebenaran yang disampaikan Rasulullah saw. Masuk ke hati mereka.

Penutup

Demikianlah hal-hal yang merusak kemurnian tauhid (baca: menghancurkan makna dua kalimat syahadat), yang secara singkat setidaknya ada tiga: Syirik, ilhaad dan nifaq. Masing-masing dari komponen tersebut mempunyai tujuan sendiri, hanya saja syirik lebih mengarah kepada sikap menyekutukan Allah, sementara ilhad lebih mengarah kepada sikap menafikan sifat, asma dan perbuatan Allah. Adapun nifaq lebih mengarah kepada penampilan dengan wajah dua. Tetapi ujung-ujungnya adalah kekafiran. Wallahu a’lam bishshawab.



Sumber : http://www.dakwatuna.com/

Memahami Kalimat Syahadat

Kalimat syahadatain adalah kalimat yang tidak asing lagi bagi umat Islam. Kita senantiasa menyebutnya setiap hari, misalnya ketika shalat dan azan. Kalimat syahadatain sering diucapkan oleh umat Islam dalam pelbagai keadaan. Kita menghafal kalimat syahadah dan dapat menyebutnya dengan fasih. Namun, demikian sejauh manakah makna kalimat ini dipahami dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari kaum Islam?


Pertanyaan tersebut perlu dijawab dengan realitas yang ada. Tingkah laku umat Islam yang terpengaruh dengan budaya jahiliyah atau cara hidup Barat, memberi gambaran bahwa syahadah tidak cukup memberi pengaruh. Terbukti tidak sedikit dari umat Islam yang masih melakukan perkara-perkara yang dilarang Allah dan meninggalkan perintah-Nya, memberi kesetiaan bukan kepada kaum muslimin, atau tidak mensyukuri sesuatu yang diberikan kepada mereka. Itu adalah contoh dari wujud seseorang yang tidak memahami syahadah yang dibacanya dan tidak mengerti makna yang sebenarnya dari syahadah.

Kalimat syahadah merupakan asas utama dan landasan penting bagi rukun Islam. Tanpa syahadah, rukun Islam lainnya akan runtuh. Begitu juga dengan rukun iman. Tegaknya syahadah dalam kehidupan individu akan menegakkan ibadah dan dien dalam hidup kita. Dengan syahadatain terwujudlah sikap ruhani yang akan memberikan motivasi kepada tingkah laku jasmaniah dan akal pikiran, serta memotivasi kita untuk melaksanakan rukun Islam lainnya.

Tegaknya Islam mesti didahului oleh tegaknya rukun Islam; dan tegaknya rukun Islam mesti didahului oleh tegaknya syahadah. Rasulullah saw. mengisyaratkan bahwa Islam itu bagaikan sebuah bangunan. Untuk berdirinya bangunan Islam itu harus ditopang oleh 5 (lima) tiang pokok, yaitu syahadatain, shalat, saum, zakat, dan haji ke Baitulllah.

Di zaman Nabi saw., kalangan masyarakat Arab memahami betul makna syahadatain ini. Terbukti dalam suatu peristiwa dimana Nabi saw. mengumpulkan para pemimpin Quraisy dari kalangan Bani Hasyim, Nabi saw. bersabda, “Wahai saudara-saudara, maukah kalian aku beri satu kalimat, dimana dengan kalimat itu kalian akan dapat menguasai seluruh jazirah Arab?” Kemudian Abu Jahal menjawab, “Jangankan satu kalimat, sepuluh kalimat berikan kepadaku.” Kemudian Nabi saw. bersabda, “Ucapkanlah laa ilaha illa Allah dan Muhammad Rasulullah.” Abu Jahal pun menjawab, “Kalau itu yang engkau minta, berarti engkau mengumandangkan peperangan dengan semua orang Arab dan bukan Arab.”

Penolakan Abu Jahal kepada kalimat ini bukan karena dia tidak paham akan makna dari kalimat itu. Justru sebaliknya. Dia tidak mau menerima sikap yang mesti tunduk, taat, dan patuh kepada Allah swt. saja Dia sadar betul jika ia bersikap seperti itu, maka semua orang akan tidak tunduk lagi kepadanya. Abu Jahal ingin mendapatkan loyalitas dari kaum dan bangsanya. Penerimaan syahadah bermakna menerima semua aturan dan segala akibatnya. Penerimaan inilah yang sulit bagi kaum jahiliyah untuk mengaplikasikan syahadah.

Sebenarnya, apabila mereka memahami bahwa loyalitas kepada Allah itu juga akan menambah kekuatan bagi diri mereka. Mereka yang beriman semakin dihormati dan semakin dihargai. Mereka yang memiliki kemampuan dan ilmu akan mendapatkan kedudukan yang sama apabila ia sebagai muslim (Abu Jahal adalah tokoh di kalangan Arab jahiliyah dan ia memiliki banyak potensi, diantaranya ia sebagai Abu Amr (ahli hukum). Setiap individu yang bersyahadah, maka ia menjadi khalifatullah fil Ardhi.

Kalimat syahadah mesti dipahami dengan benar karena di dalamnya terdapat makna yang sangat tinggi. Dengan syahadah, kehidupan kita akan dijamin bahagia di dunia ataupun di akhirat. Syahadah sebagai kunci kehidupan dan tiang dien (agama Islam). Oleh karena itu, marilah kita bersama memahami syahadatain ini.

Syahadat adalah Pintu Masuk ke dalam Islam

Sahnya iman seseorang adalah dengan menyebutkan syahadatain. Kesempurnaan iman seseorang bergantung kepada pemahaman dan pengamalan syahadatain. Syahadatain membedakan manusia kepada muslim dan kafir. Pada dasarnya setiap manusia telah bersyahadah Rububiyah di alam arwah, tetapi ini saja belum cukup. Untuk menjadi muslim, mereka harus bersyahadah Uluhiyah dan syahadah Risalah di dunia.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ

Rasulullah bersabda kepada Muadz bin Jabal saat mengutusnya ke penduduk Yaman, “Kamu akan datang kepada kaum ahli kitab. Jika kamu telah sampai kepada mereka, ajaklah mereka agar bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah. Jika mereka mentaatimu dalam hal itu, beritakan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka lima shalat setiap siang dan malam. Jika mereka mentaatimu dalam hal itu beritakan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan sedekah (zakat) yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan dikembalikan kepada orang-orang miskin. Jika mereka mentaatimu dalam hal itu, hati-hatilah kamu terhadap kemuliaan harta mereka dan waspadalah terhadap doanya orang yang dizalimi, sebab antaranya dan Allah tidak ada dinding pembatas.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Berikut ini pernyataan Rasulullah saw. tentang misi Laa ilaha illallah dan kewajiban manusia untuk menerimanya.

Dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah saw. Bersabda:



أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Jika mereka telah melakukan hal itu, terperiharalah darah dan harta benda mereka kecuali dengan haknya, sedangkan hisab mereka kepada Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Pentingnya mengerti, memahami, dan melaksanakan syahadatain. Manusia berdosa akibat melalaikan pemahaman dan pelaksanaan syahadatain.

“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.” [QS. Muhammad (47): 19].

Kalimat “dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan” menunjukan bahwa ketidakkonsistenan sikap seseorang dengan pernyataan tauhidnya (Laa ilaaha illallah) adalah perbuatan dosa. Karena pernyataan tersebut pada hakikatnya adalah pernyataan ikrar kecintaan, ketaatan, dan rasa takut hanya kepada Allah semata. Maka, bila seseorang muslim tidak menunaikan shalat, tidak menutup aurat, dan atau terlibat dalam pergaulan bebas antar lawan jenis, hal itu merupakan sikap tidak konsisten dengan pernyataan Laa ilaaha illallah. Karena dengan sikap seperti itu, cinta, taat, dan rasa takutnya tidak diarahkan kepada Allah, tetapi kepada hawa nafsunya sendiri.

Manusia menjadi kafir karena menyombongkan diri terhadap Laa ilaha illallah dan tidak mau mengesakan Allah.

“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” (tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah), mereka menyombongkan diri.” [QS. As-Shaffat (37): 35].

Yang dimaksud menyombongkan diri ketika diperdengarkan kalimat ”Laa ilaaha illallah” tidak semata-mata karena tidak mau mengucapkan atau mendengarkannya, tetapi yang yang dimaksud adalah substansinya, yaitu hanya taat, takut dan cinta kepada Allah. Karena itu kesombongan diri dalam ayat ini maksudnya adalah sikap tidak mau taat dan tunduk kepada perintah Allah, seperti tidak mau mengerjakan shalat, tidak menutup aurat, tidak menjauhi pergaulan bebas, berkhalwat dengan yang bukan mahramnya, dan sebagainya.

Yang dapat bersyahadat dalam arti sebenarnya adalah hanya Allah, para malaikat, dan orang-orang yang berilmu, yaitu para nabi dan orang yang beriman kepada mereka.

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan; para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu): tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS. Ali Imran (3): 18].

Manusia bersyahadah di alam arwah sehingga fitrah manusia mengakui keesaan Allah. Ini perlu disempurnakan dengan syahadatain sesuai ajaran Islam.

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” mMereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” [QS. Al-A’raf (7): 172].

Syahadat adalah Ringkasan Ajaran Islam

Pemahaman muslim terhadap Islam bergantung kepada pemahamannya terhadap syahadatain. Sebab, seluruh ajaran Islam terdapat dalam dua kalimat yang sederhana ini.

Ada 3 hal prinsip syahadatain :

A. Pernyataan Laa ilaha illallah merupakan penerimaan penghambaan atau ibadah kepada Allah saja. Melaksanakan minhajillah (way of life yang ditetapkan Allah) merupakan ibadah kepada-Nya.

B. Menyebut Muhammad Rasulullah merupakan dasar penerimaan cara penghambaan itu dari Muhammad saw. Dan Rasulullah adalah tauladan dalam mengikuti Manhaj Allah.

C. Penghambaan kepada Allah meliputi seluruh aspek kehidupan. Ia mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dan dengan masyarakatnya.

Makna Laa ilaha illa Allah adalah penghambaan kepada Allah [QS. Al-Anbiya' (21): 25], dan Rasul diutus dengan membawa ajaran tauhid.

“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.” [QS. Al-Baqarah (2): 21].

Manusia diciptakan untuk menghambakan dirinya kepada Allah semata.

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” [QS. Az-Dzariyat (51): 56].

Dan kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya, “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” [QS. Al-Anbiya’ (21): 25].

Muhammad saw. adalah tauladan dalam setiap aspek kehidupan [QS. Ali Imran (3): 31], dan aktifitas hidup orang yang beriman kepada Allah, hendaknya mengikuti ajaran Muhammad saw.

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” [QS. Al-Ahzab (33): 21].

Meneladani Rasulullah menjadi parameter keimanan dan kecintaan seseorang kepada Allah. Bukti cinta kepada Allah adalah dengan mengikuti ajaran Rasulullah saw.

Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. Ali Imran (3): 31].

Seluruh aktivitas hidup manusia secara individu, masyarakat dan negara mesti ditujukan kepada mengabdi Allah swt. saja.

“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am: 162).

Islam adalah satu-satunya syariat yang diridhai Allah dan tidak dapat dicampur dengan syariat lainnya.

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” [QS. Ali Imran (3): 19].

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” [QS. Ali Imran (3): 85].

“Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” [QS. Al-Jatsiyah (45): 18].

“Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalannya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” [QS. Al-An’am (6): 153].

Syahadat adalah Dasar Sebuah Perubahan

Syahadatain mampu mengubah manusia dalam aspek keyakinan, pemikiran, maupun jalan hidupnya. Perubahan itu juga meliputi berbagai aspek kehidupan manusia secara individu atau masyarakat.

Ada perbedaan penerimaan syahadatain pada generasi pertama umat Muhammad dengan generasi sekarang. Perbedaan tersebut disebabkan perbedaan derajat kepahaman terhadap makna syahadatain secara bahasa dan pengertian, dan sikap konsisten terhadap syahadah tersebut dalam pelaksanaan ketika menerima maupun menolak.

Umat terdahulu langsung berubah ketika menerima syahadatain. Sehingga mereka yang tadinya bodoh menjadi pandai, yang kufur menjadi beriman, yang bergelimang dalam maksiat menjadi takwa dan abid, yang sesat mendapat hidayah. Masyarakat yang tadinya bermusuhan menjadi bersaudara di jalan Allah.

Syahadatain dapat merubah masyarakat dahulu, maka syahadatain pun dapat mengubah umat sekarang menjadi baik.

Penggambaran Allah tentang perubahan yang terjadi pada para sahabat Nabi, yang dahulunya berada dalam kegelapan jahiliyah kemudian berada dalam cahaya Islam yang gemilang.

“Dan apakah orang yang sudah mati (maksudnya ialah orang yang telah mati hatinya yakni orang-orang kafir) kemudian dia kami hidupkan dan kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.” [QS. Al-An’am (6): 122].

Perubahan individu contohnya terjadi pada Mush’ab bin Umair yang sebelum mengikuti dakwah Rasul merupakan pemuda yang paling terkenal dengan kehidupan yang glamour di kota Mekkah. Tetapi setelah menerima Islam, ia menjadi pemuda sederhana yang dai, duta Rasul untuk kota Madinah, kemudian menjadi syuhada Uhud. Saat syahidnya, Rasulullah membacakan ayat ini.

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak mengubah (janjinya).” [QS. Al-Ahzab (33): 23].

Reaksi masyarakat Quraisy terhadap kalimat tauhid [QS. Al-Buruuj (85): 6-10], reaksi musuh terhadap keimanan kaum mukminin kepada Allah [QS. Al-Kahfi (18): 2], musuh memerangi mereka yang konsisten dengan pernyataan Tauhid [QS. Al-Anfal (8): 20].

Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: Laa ilaaha illallah (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah), mereka menyombongkan diri. Dan mereka berkata, “Apakah kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?” Sebenarnya dia (Muhammad) telah datang membawa kebenaran dan membenarkan rasul-rasul (sebelumnya). [QS. As-Shaffat (37): 35-37].

“Ketika mereka duduk di sekitarnya. Sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman. Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji, Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu. Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka azab Jahannam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar.” [QS. Al-Buruj (85): 6-10].

“Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal shalih, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik.” [QS. Al-Kahfi (18): 2].

“Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” [QS. Al-Anfal (8): 30].



Syahadat adalah Hakikat Dakwah Para Rasul

Setiap rasul, semenjak Nabi Adam a.s. hingga Nabi Muhammad saw., membawa misi dakwah yang satu, yaitu syahadah. Apa yang diwahyukan kepada Rasulullah sama dengan apa yang diwahyukan kepada nabi-nabi sebelumnya. Allah berfirman,

“Sesungguhnya kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma’il, Ishak, Ya’qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan kami berikan Zabur kepada Daud.” [QS. An-Nisa’(4): 163].

Mereka semua mengajak manusia untuk mentauhidkan Allah semata dan hanya menyembah kepada-Nya. Seperti yang diserukan Nuh a.s. kepada kaumnya.

Sesungguhnya kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata, “Wahai kaumku, sembahlah Allah. Sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), Aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).” [QS. Al-A’raf (7): 59].

Nabi Ibrahim berdakwah kepada masyarakat untuk membawa mereka menuju kepada pengabdian Allah saja serta membebasakan diri dari kesyirikan.

Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya; ketika mereka berkata kepada kaum mereka, “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya, “Sesungguhnya Aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan Aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah”. (Ibrahim berkata), “Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat, dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.” [QS. Al-Mumtahanah (60): 4].

(Catatan: Nabi Ibrahim pernah memintakan ampunan bagi bapaknya yang musyrik kepada Allah: Ini tidak boleh ditiru, karena Allah tidak membenarkan orang mukmin memintakan ampunan untuk orang-orang kafir. Lihat surat An-Nisa ayat 48).

Para nabi membawa dakwah bahwa ilah yang satu yaitu Allah saja.

Katakanlah, “Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa.” Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” [QS. Al-Kahfi (18): 110].

Syahadat adalah Kalimat dengan Ganjaran Yang Besar

Banyak ganjaran yang diberikan oleh Allah dan dijanjikan oleh Nabi Muhammad saw. Di antaranya seseorang akan dimasukkan ke dalam surga dan dikeluarkan dari neraka seperti sabda Rasulullah saw.



عَنْ عُبَادَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ شَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنْ الْعَمَلِ

Ubadah bin Shamit meriwayatkan dari Nabi saw., beliau bersabda, “Barangsiapa mengatakan tiada ilah selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah utusan-Nya dan Rasul-Nya, bahwa Isa adalah hamba dan utusan-Nya, kalimat-Nya yang dicampakkan kepada Maryam dan ruh dari-Nya, dan bahwa surga adalah hak serta neraka itu hak. Allah akan memasukkannya ke surga, apapun amal perbuatannya.” (Bukhari).



عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَخْرُجُ مِنْ النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ شَعِيرَةٍ مِنْ خَيْرٍ وَيَخْرُجُ مِنْ النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ بُرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ وَيَخْرُجُ مِنْ النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ ذَرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ

Dari Anas, Nabi saw. bersabda, “Keluar dari neraka orang yang mengucapkan la ilaha illallah dan di hatinya ada seberat rambut kebaikan. Keluar dari neraka orang yang mengucapkan la ilaha illallah sedang di hatinya ada seberat gandum kebaikan. Dan keluar dari neraka orang yang mengatakan la ilaha illallah sedang di hatinya ada seberat zarrah kebaikan.” (Bukhari).

Orang yang mengikrarkan syahadat akan mendapatkan syafaat Rasulullah di hari Kiamat. Seperti sabda beliau,



عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ ظَنَنْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَنْ لَا يَسْأَلُنِي عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلُ مِنْكَ لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيثِ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ

Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw. ditanya, “Siapakah orang yang paling berbahagia dengan syafaatmu di hari Kiamat?” Rasulullah saw. bersabda, “Aku telah mengira, ya Abu Hurairah, bahwa tidak ada seorang pun yang tanya tentang hadits ini yang lebih dahulu daripada kamu, karena aku melihatmu sangat antusias terhadap hadits. Orang yang paling bahagia dengan syafaatku di hari Kiamat adalah yang mengatakan la ilaha illallah secara ikhlas dari hatinya atau jiwanya.” (Bukhari).





Sumber : http://www.dakwatuna.com/

Pentingnya Syahadatain


فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ


Maka ketahuilah, sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah….. (QS. Muhammad: 19)

dakwatuna.com – Jumlah umat Islam kini sangat banyak. Sebagian besar mereka terkategorikan sebagai Islam keturunan atau kebetulan terlahir sebagai muslim dari orang tua. Kenyataan akan jumlah yang banyak tidak berkorelasi dengan pemahamannya kepada Islam secara benar, orisinil dan utuh. Hakikat memahami Islam dimulai dari memahami inti sari ajarannya yaitu dua kalimat syahadah (syahadatain). Kalimat tersebut terdiri dari Laa Ilaaha Illallah dan Muhammadun Rasulullah. Memahami keduanya sangat penting dan mendasar. Karena jika kita tak memahami hakikat kalimat syahadah, kita dapat terjerembab ke dalam penyakit kebodohan dan kemusyrikan.

Syahadatain merupakan fondasi atau asas dari bangunan keislaman seorang muslim. Jika fondasinya tidak kuat maka rumahnya pun tidak akan kuat bertahan.

Ayat di atas, menjelaskan bahwa umat Islam tidak dibenarkan hanya sekadar mengucapkan atau melafalkan dua kalimat syahadah, tetapi seharusnya betul-betul memahaminya. Kata fa’lam berarti “maka ketahuilah, ilmuilah….” Artinya Allah memerintahkan untuk mengilmui atau memahami kalimat Laa Ilaaha Illallah bukan sekadar mengucapkannya, tetapi dengan yang pada gilirannya akan membentuk keyakinan (i’tiqad) dalam hati.

Pentingnya Syahadatain

Kalimat syahadah sangat penting dipahami karena beberapa hal:

1. Pintu gerbang masuk ke dalam Islam (madkholu ilal Islam)

Qs 2:108

Islam ibarat rumah atau bangunan atau sistem hidup yang menyeluruh, dan Allah memerintahkan setiap muslim untuk masuk secara kaaffah. Untuk memasukinya akan melalui sebuah pintu gerbang, yaitu syahadatain. Hal ini berlaku baik bagi kaum muslimin atau non muslim. Artinya, pemahaman Islam yang benar dimulai dari pemahaman kalimat itu. Pemahaman yang benar atas kedua kalimat ini mengantarkan manusia ke pemahaman akan hakikat ketuhanan (rububiyah) yang benar juga. Mengimani bahwa Allah-lah Robb semesta alam.

2. Intisari doktrin Islam (Khulashah ta’aliimil Islam)

Intisari ajaran Islam terdapat dalam dua kalimat syahadah. Asyhadu allaa ilaaha illallah (Aku bersaksi: sesungguhnya tidak ada Ilaah selain Allah) dan asyhadu anna muhammadan rasulullah (Aku bersaksi: sesungguhnya Muhammad Rasul Allah). Pertama, kalimat syahadatain merupakan pernyataan proklamasi kemerdekaan seorang hamba bahwa ibadah itu hanya milik dan untuk Allah semata (Laa ma’buda illallah), baik secara pribadi maupun kolektif (berjamaah). Kemerdekaan yang bermakna membebaskan dari segala bentuk kemusyrikan, kekafiran dan api neraka. Kita tidak mengabdi kepada bangsa, negara, wanita, harta, perut, melainkan Allah-lah yang disembah (al-ma’bud). Para ulama menyimpulkan kalimat ini dengan istilah Laa ilaaha illallah ‘alaiha nahnu; “di atas prinsip kalimat laa ilaaha illallah itulah kita hidup, kita mati dan akan dibangkitkan”. Rasulullah juga bersabda “Sebaik-baik perkataan, aku dan Nabi-nabi sebelumku adalah Laa ilaaha illallah” (Hadist). Maka sering mengulang kalimat ini sebagai dzikir yang diresapi dengan pemahaman yang benar ¾ bukan hanya melisankan ¾ adalah sebuah keutamaan yang dapat meningkatkan keimanan. Keimanan yang kuat, membuat hamba menyikapi semua perintah Allah dengan mudah. Sebaliknya, perintah Allah akan selalu terasa berat di saat iman kita melemah. Kalimat syahadatain juga akan membuat keimanan menjadi bersih dan murni, ibarat air yang suci. Allah akan memberikan dua keuntungan bagi mereka yang beriman dengan bersih, yaitu hidup aman atau tenteram dan mendapat petunjuk dari Allah. Sebagaimana Dia berfirman dalam Al-Qur’an:

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk” (Al-An’am: 82).

Kedua, kita bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, berarti kita seharusnya meneladani Rasulullah dalam beribadah kepada Allah. Karena beliau adalah orang yang paling mengerti cara (kaifiyat) beribadah kepada-Nya. Sebagaimana disabdakan Nabi SAW:

“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat…”.

Selanjutnya hal ini berlaku untuk semua aspek ibadah di dalam Islam.

3. Dasar-dasar Perubahan (Asasul inqilaab)

Perubahan yang dimaksud adalah perubahan mendasar dalam kehidupan manusia, yaitu perubahan dari kegelapan (jahiliyah) menuju cahaya (Islam); minazh zhuluumati ilan nuur. Perubahan yang dimaksud mencakup aspek keyakinan, pemikiran, dan hidupnya secara keseluruhan, baik secara individu maupun masyarakat. Secara individu, berubah dari ahli maksiat menjadi ahli ibadah yang taqwa; dari bodoh menjadi pandai; dari kufur menjadi beriman, dan seterusnya. Secara masyarakat, di bidang ibadah, merubah penyembahan komunal berbagai berhala menjadi menyembah kepada Allah saja. Dalam bidang ekonomi, merubah perekonomian riba menjadi sistem Islam tanpa riba, dan begitu seterusnya di semua bidang. Syahadatain mampu merubah manusia, sebagaimana ia telah merubah masyarakat di masa Rasulullah dan para sahabat terdahulu. Diawali dengan memahami syahadatain dengan benar dan mengajak manusia meninggalkan kejahiliyahan dalam semua aspeknya kepada nilai-nilai Islam yang utuh.

4. Hakikat Dakwah para Rasul (Haqiqatud Da’watir Rasul)

Para nabi, sejak Adam a.s sampai Muhammad saw, berdakwah dengan misi yang sama, mengajak manusia pada doktrin dan ajaran yang sama yaitu untuk beribadah kepada Allah saja dan meninggalkan Thogut. Itu merupakan inti yang sama dengan kalimat syahadatain, bahwa tiada Ilaah selain Allah semata. Seperti difirmankan Allah SWT:

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja) dan jauhi thagut itu” (QS 16:36)

5. Keutamaan yang Besar (Fadhaailul ‘Azhim)

Kalimat syahadatain, jika diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, menjanjikan keutamaan yang besar. Keutamaan itu dapat berupa moral maupun material; kebahagiaan di dunia juga di akhirat; mendapatkan jaminan surga serta dihindarkan dari panasnya neraka.



Makna “Asyhadu”

Kata “asyahdu” yang terdapat dalam syahadatain memiliki beberapa arti, antara lain:

1. Pernyataan atau Ikrar (al-I’laan atau al-Iqraar)

Seorang yang bersyahadah berarti dia berikrar atau menyatakan – bukan hanya mengucapkan – kesaksian yang tumbuh dari dalam hati bahwa Tidak Ada Ilaah Selain Allah.

2. Sumpah (al-Qassam)

Seseorang yang bersyahadah berarti juga bersumpah – suatu kesediaan yang siap menerima akibat dan resiko apapun – bahwa tiada Ilaah selain Allah saja dan Muhammad adalah utusan Allah.

3. Janji (al-Wa’du atau al-‘Ahdu)

Yaitu janji setia akan keesaan Allah sebagai Zat yang dipertuhan. Janji tersebut kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah (QS ?).

Syahadah muslim yang dinyatakan dengan kesungguhan, yang merupakan janji suci, sekaligus sumpah kepada Allah SWT; merupakan ruh keimanan. Iman adalah keyakinan tanpa keraguan, penerimaan tanpa keberatan, kepercayaan terhadap semua keputusan Allah (QS 49:15).

Hakikat Iman

Keimanan itu bukanlah angan-angan, tetapi mencakup 3 hal:

1. Dikatakan dengan lisan (al-Qaul)

Syahadah diucapkan dengan lisan dengan penuh keyakinan. Semua perkataan yang keluar dari lisan mukmin senantiasa baik dan mengandung hikmah.

2. Dibenarkan dengan hati (at-tashdiiq)

Hati adalah lahan menyemai benih-benih keimanan. Semua yang keluar dari lisan digerakkan oleh hati. Apa yang ada dalam hati akan dicerminkan dalam perkataan dan perbuatan. Dalam hadits Bukhari digambar oleh Nabi SAW bahwa:

“Ilmu (hidayah) yang Aku bawa ibarat air hujan, ada jenis tanah yang subur menumbuhkan tanaman, ada tanah yang tidak menumbuhkan hanya menampung air, ada jenis tanah yang gersang, tidak menumbuhkan juga tidak menampung”.

Allah, dalam al-Qur’an, membagi hati manusia menjadi tiga, yaitu hati orang mukmin (QS 26: 89), hati orang kafir (QS 2: 7) dan hati orang munafik (QS 2: 10). Hati orang kafir yang tertutup dan hati munafik yang berpenyakit takkan mampu membenarkan keimanan (at-tashdiiqu bil qalb). Sedangkan hati orang mukmin itulah yang dimaksud Rasulullah SAW sebagai tanah yang subur yang dapat menumbuhkan pohon keimanan yang baik. Akar keyakinannya menjulang kuat ke tanah, serta buah nilai-nilai ihsannya dapat bermanfaat untuk manusia yang lain.

3. Perbuatan (al-‘Amal)

Perbuatan (amal) digerakkan atau termotivasi dari hati yang ikhlas dan pembenaran iman dalam hati. Seseorang yang hanya bisa mengucapkan dan mengamalkan tanpa membenarkan di hati, tidak akan diterima amalnya. Sifat seperti itu dikategorikan sebagai orang munafik, yang selalu bicara dengan lisannya bukan dengan hatinya. Karena munafik memiliki tiga tanda: bila berbicara ia berdusta, bila berjanji ia ingkar, bila diberi amanah ia berkhianat.

Perkataan, pembenaran di hati dan amal perbuatan adalah satu kesatuan yang utuh. Ketiganya akan melahirkan sifat istiqamah, tetap, teguh dan konsisten. Sebagaimana dijelaskan dalam QS 41:30, sikap istiqamah merupakan proses yang terus berjalan bersama keimanan. Mukmin mustaqim akan mendapatkan karunia dari Allah berupa:

Keberanian (asy-Syajaa’ah), yang lahir dari keyakinan kepada Allah. Berani menghadapi resiko tantangan hidup, siap berjuang meskipun akan mendapatkan siksaan. Lawan keberanian adalah sifat pengecut.

Ketenangan (al-Ithmi’naan), yang lahir dari keyakinan bahwa Allah akan selalu membela hamba-Nya yang mustaqim secara lahir batin. Lawannya adalah sifat bersedih hati.

Optimis (at-Tafaa’ul), lahir dari keyakinan terhadap perlindungan Allah dan ganjaran Allah yang Maha sempurna. Orang yang optimis akan tenteram akan kemenangan hakiki, yaitu mendapatkan keridhaan Allah (mardhatillah).

Ketiga karunia Allah kepada orang mustaqim akan dilengkapi Allah dengan anugerah kebahagiaan hidup (as-Sa’aadah), baik di dunia dan akhirat.

Inilah pemahaman terhadap konsep syahadah. Tidak mudah dalam pelaksanaannya, karena kita berharap agar Allah memberikan kesabaran dalam memahaminya.



http://www.dakwatuna.com/