Powered By Blogger

Jumat, 28 Januari 2011

Sebuah renungan tentang 'pencuri' kita .....


Seekor burung mahal jenis merpati pos tampak gelisah dalam sebuah sangkar besi nan indah. Tubuhnya yang elok mulai terlihat lemas. Dalam dua hari ini, ia memang tidak mau makan.
Sang merpati yang telah menjuarai beberapa turnamen dunia ini, mulai dari kecepatan terbang hingga ketepatan target tujuan hinggap, yakin benar kalau tuan barunya yang dua hari ini memberinya makan, bukanlah tuan yang sebenarnya. Ia yakin dirinya telah dicuri.
Karena itulah, senikmat dan semahal apa pun makanan yang ditawarkan, ia tetap tidak mau makan. Sang merpati pintar ini yakin, menikmati makanan dari orang yang telah mengecewakan tuannya yang asli, berarti mengkhianati sang tuan yang telah menyayanginya dengan penuh cinta.

Namun, si pencuri tidak pernah marah dengan penolakan itu. Ia ambil lagi makanan yang belum disentuh itu, untuk kemudian diganti dengan makanan yang baru, yang lebih segar, dan lebih nikmat. Sang pencuri pun tidak lupa membersihkan kandang merpati dengan penuh hati-hati.

Begitulah hari-hari yang dilalui oleh sang pencuri kepada merpati curiannya. Sesekali, dengan penuh kelembutan, jari tangan sang pencuri membelai-belai bulu kepala merpati. Sungguh suatu perlakuan yang melebihi apa yang diterima si merpati dari tuannya yang asli.
Ketika lapar yang tidak lagi bisa ditahan, sang merpati akhirnya mencicipi makanan sajian tuan barunya itu. “Aih, lezatnya makanan ini. Baru kali ini aku merasakan makanan senikmat ini,” ucap sang merpati sambil terus memakan sajian yang ada di sangkarnya.
Keesokannya, sang merpati kembali menikmati sajian tuan barunya. Kali ini ia tidak lagi ragu untuk menikmatinya. Perasaan buruknya tentang siapa tuan barunya itu mulai sirna. Tubuhnya pun sudah mulai segar dan bugar. Sayapnya yang pernah rusak, kini kembali normal seperti sebelumnya.
**

Jika seseorang berada dalam keheningan muhasabahnya. Mungkin ia bisa merasakan bahwa begitu banyak ‘pencuri’ yang sangat dekat dalam keseharian kita. Ada ‘pencuri’ yang berkedok karir, ada yang berkedok demi masa depan, ada yang demi isteri dan anak-anak, ada yang berlabel demi maslahat yang lebih besar, dan lain-lain.

Tampilan kelembutan dan kebaikannya yang begitu mempesona, lambat laun mengurangi kejernihan timbangan batin kita. Suatu saat, seseorang tidak lagi bisa membedakan mana yang sebenarnya sebuah kebenaran dan mana yang kebatilan. Mana yang memperbaiki dan mana yang merusak. Dan bahkan, mana Tuan Besar yang telah memberinya kehidupan, dan mana tuan-tuan kecil yang justru mencuri nilai-nilai kehidupannya.

(muhammadnuh@eramuslim.com)

Simbol Kehidupan



Dalam sebuah perjalanan seorang ayah dengan puteranya, sebatang pohon kayu nan tinggi ternyata menjadi hal yang menarik untuk mereka simak. Keduanya pun berhenti di bawah rindangnya pohon tersebut.


“Anakku,” ucap sang ayah tiba-tiba. Anak usia belasan tahun ini pun menatap lekat ayahnya. Dengan sapaan seperti itu, sang anak paham kalau ayahnya akan mengucapkan sesuatu yang serius.
“Adakah pelajaran yang bisa kau sampaikan dari sebuah pohon?” lanjut sang ayah sambil tangan kanannya meraih batang pohon di dekatnya.

“Menurutku, pohon bisa jadi tempat berteduh yang nyaman, penyimpan air yang bersih dari kotoran, dan penyeimbang kesejukan udara,” jawab sang anak sambil matanya menanti sebuah kepastian.
“Bagus,” jawab spontan sang ayah. “Tapi, ada hal lain yang menarik untuk kita simak dari sebuah pohon,” tambah sang ayah sambil tiba-tiba wajahnya mendongak ke ujung dahan yang paling atas.

“Perhatikan ujung pepohonan yang kamu lihat. Semuanya tegak lurus ke arah yang sama. Walaupun ia berada di tanah yang miring, pohon akan memaksa dirinya untuk tetap lurus menatap cahaya,” jelas sang ayah.


“Anakku,” ucap sang ayah sambil tiba-tiba tangan kanannya meraih punggung puteranya. “Jadikan dirimu seperti pohon, walau keadaan apa pun, tetap lurus mengikuti cahaya kebenaran,” ungkap sang ayah begitu berkesan.

Keadaan tanah kehidupan yang kita pijak saat ini, kadang tidak berada pada hamparan luas nan datar. Selalu saja ada keadaan tidak seperti yang kita inginkan. Ada tebing nan curam, ada tanjakan yang melelahkan, ada turunan landai yang melenakan, dan ada lubang-lubang yang muncul di luar dugaan.

Pepohonan, seperti yang diucapkan sang ayah kepada puteranya, selalu memposisikan diri pada kekokohan untuk selalu tegak lurus mengikuti sumber cahaya kebenaran. Walaupun berada di tebing ancaman, tanjakan hambatan, turunan godaan, dan lubang jebakan.

“Jadikan dirimu seperti pohon, walau keadaan apa pun, tetap lurus mengikuti cahaya kebenaran.”


Sumber : (muhammadnuh@eramuslim.com)

Minggu, 16 Januari 2011

TANGISAN SANG GADIS KECIL



Sebuah Cerita hikmah,mudah-mudahan memberikan manfaat buat kita semua. 

Sore itu Hasan al-Bashri sedang duduk-duduk di teras rumahnya. Rupanya ia sedang bersantai makan angin. Tidak lama setelah ia duduk bersantai, lewat jenazah dengan iringan-iringan pelayat belakangnya. Di bawah keranda jenazah yang sedang diusung, berjalan gadis kecil sambil terisak-isak. Rambutnya tampak kusut dan terurai, tidak beraturan. 
Al-Bashri tertarik penampilan gadis kecil tadi. Ia turun dari rumahnya dan turut dalam iringan-iringan. Ia berjalan di belakang gadis kecil itu. Di antara tangisan gadis kecil itu, terdengar kata-kata yang menggambarkan kesedihan hatinya. 

“Ayah, baru kali ini aku mengalami peristiwa seperti ini.” 

Hasan al-Bashri menyahuti ucapan sang gadis kecil, “Ayahmu juga sebelumnya tidak mengalami peristiwa seperti ini.” 

Kesokan harinya, usai salat subuh, ketika matahari menampakkan dirinya di ufuk timur, sebagaimana biasanya, Al-Bashri duduk di teras rumahnya. Sejurus kemudian gadis kecil kemarin melintas ke arah makam ayahnya. “Gadis kecil yang bijak,” gumam Al-Bashri. “Aku akan ikuti gadis kecil itu.” 

Gadis kecil itu tiba di makam ayahnya. Al-Bashri bersembunyi di balik pohon, mengamati gerak-geriknya diam-diam. 

Gadis kecil itu berjongkok di pinggir makam. Ia menempelkan pipinya ke atas makam tanah itu. Sejurus kemudian ia meratap dengan kata-kata yang terdengar sekali oleh Al-Bashri. 

“Ayah, bagaimana keadaanmu tinggal sendirian dalam kubur yang gelap gulita tanpa pelita dan tanpa pelipur? Ayah, kemarin malam kunyalakan lampu untukmu, semalam siapa yang menyalakannya untukmu? Kemarin masih kubentangkan tikar, kini siapa yang melakukannya, ayah? Kemarin malam aku masih memijit kaki dan tanganmu, siapa yang memijitmu semalam, ayah? Kemarin aku memberimu minum, siapa yang memberimu minum tadi malam? Kemarin malam aku membalikkan badanmu dari sisi yang satu ke sisi yang lain agar engkau merasa nyaman, siapa yang melakukannya untukmu semalam, ayah? 

Kemarin malam aku menyelimuti engkau, siapakah yang menyelimuti engkau semalam ayah? Ayah, kemarin malam kuperhatikan wajahmu, siapakah yang memperhatikanmu tadi malam ayah? Kemarin malam kau memanggilku dan aku menyahuti penggilanmu, lantas siapa yang menjawab panggilanmu tadi malam ayah? Kemarin aku suapi engkau saat kau ingin makan, siapakah yang menyuapimu semalam, ayah? Kemarin malam aku memasakkan aneka macam makanan untukmu, ayah, tadi malam siapa yang memasakkanmu?” 

Mendengar rintihan gadis kecil itu, Hasan al-Bashri tidak tahan menahan tangisnya. Keluarlah ia dari tempat persembunyiannya, lalu menyambuti kata-kata gadis kecil. 

“Hai, gadis kecil! Jangan berkata seperti itu. Tetapi, ucapkanlah: ‘Ayah, kuhadapkan engkau ke arah kiblat, apakah kau masih seperti itu atau telah berubah ayah? Kami kafani engkau dengan kafan yang terbaik, masih utuhkan kain kafan itu, atau telah tercabik-cabik ayah? Kuletakkan engkau di dalam kubur dengan badan yang utuh, apakah masih demikian, atau cacing tanah telah menyantapmu, ayah’?” 

“Ulama mengatakan, ‘Hamba yang mati ditanyakan imannya. Ada yang menjawab dan ada juga yang tidak menjawab.’ Bagaimana dengan engkau, ayah? Apakah engkau bisa mempertanggungjawabkan imanmu, ayah? Ataukah engkau tidak berdaya?” 

“Ulama mengatakan, ‘Mereka yang mati akan diganti kain kafannya dengan kain kafan dari surga atau dari neraka.’ Engkau mendapat kain kafan dari mana, ayah?” 

“Ulama mengatakan, ‘Kubur sebagai taman surga atau jurang menuju neraka. Kubur kadang membelai orang mati seperti kasih ibu, atau terkadang menghimpitnya sebagai tulang-belulang berserakan.’ Apakah engkau dibelai atau dimarahi, ayah?” 

“Ayah, kata ulama, orang yang dikebumikan menyesal mengapa tidak memperbanyak amal baik. Orang yang ingkar menyesal dengan tumpukan maksiatnya. Apakah engkau menyesal karena kejelekanmu ataukah karena amal baikmu yang sedikit, ayah?” 

“Jika kupanggil, engkau selalu menyahut. Kini aku memanggilmu di atas kuburanmu, lalu mengapa aku tidak bisa mendengar sahutanmu, ayah?” 

“Ayah, engkau sudah tiada. Aku sudah tidak bisa menemuimu lagi hingga kiamat nanti. Wahai Allah, jangan Kau rintangi pertemuanku dengan ayahku di akhirat nanti.” 

Gadis kecil itu menengok kepada Hasan al-Bashri seraya berkata, “Betapa indah ratapanmu kepada ayahku. Betapa baik bimbingan yang telah kuterima. Engkau ingatkan aku dari lelap lalai.” 

Kemudian, Hasan al-Bashri dengan diiringi gadis kecil itu meninggalkan makam. Mereka pulang sambil berderai tangis. 


Janganlah malu utk menangis, menangis karna teringat dosa dan bertobat maka mata tersebut tdk akan tersentuh api neraka, Insya Allah. Wallahualam 


SUMBER : http://newmasgun.blogspot.com/2009/04/kisah-hikmah-tangisan-sang-gadis-kecil.html