Suatu ketika Ibrahim bin Adham, seorang alim yang terkenal zuhud dan wara’nya, melewati pasar yang ramai. Selang beberapa saat beliau pun dikerumuni banyak orang yang ingin minta nasehat. Salah seorang di antara mereka bertanya, “Wahai Guru! Allah telah berjanji dalam kitab-Nya bahwa Dia akan mengabulkan doa hamba-Nya. Kami telah berdoa setiap hari, siang dan malam, tapi mengapa sampai saat ini doa kami tidak dikabulkan?”
Ibrahim bin Adham diam sejenak lalu berkata, “Saudara sekalian. Ada sepuluh hal yang menyebabkan doa kalian tidak dijawab oleh Allah.
Pertama, kalian mengenal Allah, namun tidak menunaikan hak-hak-Nya.
Kedua, kalian membaca Al-Quran, tapi kalian tidak mau mengamalkan isinya.
Ketiga, kalian mengakui bahwa iblis adalah musuh yang sangat nyata, namun dengan suka hati kalian mengikuti jejak dan perintahnya.
Keempat, kalian mengaku mencintai Rasulullah, tetapi kalian suka meninggalkan ajaran dan sunnahnya.
Kelima, kalian sangat menginginkan surga, tapi kalian tak pernah melakukan amalan ahli surga.
Keenam, kalian takut dimasukkan ke dalam neraka, namun kalian dengan senangnya sibuk dengan perbuatan ahli neraka.
Ketujuh, kalian mengaku bahwa kematian pasti datang, namun tidak pernah mempersiapkan bekaluntuk menghadapinya.
Kedelapan, kalian sibuk mencari aib orang lain dan melupakan cacat dan kekurangan kalian sendiri.
Kesembilan, kalian setiap hari memakan rezeki Allah, tapi kalian lupa mensyukuri nikmat-Nya.
Kesepuluh, kalian sering mengantar jenazah ke kubur, tapi tidak pernah menyadari bahwa kalian akan mengalami hal yang serupa.”
Setelah mendengar nasehat itu, orang-orang itu menangis.
Dalam kesempatan lain Ibrahim kelihatan murung lalu menangis, padahal tidak terjadi apa-apa. Seseorang bertanya kepadanya. Ibrahim menjawab, “Saya melihat kubur yang akan saya tempati kelak sangat mengerikan,
sedangkan saya belum mendapatkan penangkalnya. Saya melihat perjalanan di akhirat yang begitu jauh, sementara saya belum punya bekal apa-apa. Serta saya melihat Allah mengadili semua makhluk di Padang Mahsyar, sementara
saya belum mempunyai alasan yang kuat untuk mempertanggungjawab kan segala amal perbuatan saya selama hidup di dunia.”
Jumat, 20 Mei 2011
Senin, 16 Mei 2011
Jika Punya Kesempatan, Membacalah !
Oleh : Ust. Muhammad Nuh
“Siapa merintis jalan mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.” (Muslim)
Ada posisi khusus untuk mereka yang berilmu
Ada kemuliaan tersendiri yang Allah berikan buat orang yang berilmu. Di dunia dan akhirat. Ia bisa lebih mulia dari mereka yang banyak harta dan tinggi jabatan. Bahkan, lebih mulia dari ahli ibadah sekalipun.
Rasulullah saw. bersabda, “Kelebihan seorang alim (ilmuwan) terhadap seorang ‘abid (ahli ibadah) ibarat bulan purnama terhadap seluruh bintang.” (Abu Dawud)
Bahkan, Alquran menjelaskan bahwa orang yang paling takut pada Allah adalah para ulama. Tentunya, mereka yang memahami kebesaran dan kekuasaan Allah swt. “…Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama…” (Fathir: 28)
Begitu tingginya penghargaan buat mereka yang berilmu. Khusus mereka yang tergolong pakar dalam Alquran, ada kemuliaan tersendiri. Dan kemuliaan itu mereka dapat saat bertemu Allah kelak di hari pembalasan.
Rasulullah saw bersabda, “Seorang mukmin yang pandai membaca Alquran akan bersama malaikat yang mulia lagi berbakti….” (Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits lain Rasulullah saw. mengatakan kepada Abu Dzar, “Wahai Abu Dzar, kamu pergi mengajarkan ayat dari Kitabullah lebih baik bagimu dari shalat (sunnah) seratus rakaat. Dan, pergi mengajarkan satu bab ilmu pengetahuan, dilaksanakan atau tidak, itu lebih baik dari shalat seribu rakaat.” (Ibnu Majah)
Seperti apapun kita hidup, tak ada yang tanpa ilmu
Hidup dan pengetahuan nyaris tak bisa dipisahkan. Sulit membayangkan jika kehidupan ditelusuri tanpa pengetahuan. Ruang-ruang kehidupan menjadi begitu gelap. Dan jalan yang akan ditempuh pun tampak bercabang-cabang.
Itulah kenapa Islam mewajibkan umatnya menuntut ilmu. Rasulullah saw. mengatakan, “Menuntut ilmu wajib buat tiap muslim (laki dan perempuan).” (Ibnu Majah)
Dari situ bisa dipahami bahwa Islam menginginkan umatnya hidup bahagia. Dunia dan akhirat. Karena tak satu kebahagiaan pun di dunia ini yang bisa diraih tanpa ilmu. Mulai dari profesi yang menghasilkan uang, hingga pada pengokohan status hidup sendiri. Keberadaan sebuah keluarga misalnya, sulit bisa harmonis jika tanpa ilmu seni berkeluarga. Begitu pun pada yang lain: sebagai manusia, mukmin, warga negara, dan warga dunia. Jika status-status ini tidak disertai ilmu, orang akan menjadi korban pembodohan dan penzaliman.
Belum lagi persiapan menyongsong kehidupan akhirat. Tentu lebih banyak butuh ilmu. Karena kehidupan tak lain sebagai ladang amal buat akhirat. Gagal hidup di dunia bisa menggiring kecelakaan di akhirat. Na’udzubillah.
Jika mau, selalu ada cara
Persoalan sukses-tidaknya seseorang mencari ilmu ternyata bukan sekadar masalah biaya. Bukan juga kesempatan. Tapi, lebih pada kemauan. Inilah kendala berat siapa pun yang ingin sukses.
Rasulullah saw. mengajarkan para sahabat untuk selalu berlindung pada Allah dari sifat malas. “Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari rasa sesak dada dan gelisah, dari kelemahan dan kemalasan….”
Inilah di antara penyakit mental umat Islam saat ini yang sangat bahaya. Malas bukan hanya merugikan diri si pelaku, melainkan juga orang lain. Bisa anggota keluarga, bawahan, dan lain-lain. Karena malas, seseorang atau sebuah kumpulan masyarakat bisa kehilangan momentum perubahan yang Allah pergilirkan.
Dalam pola konsumsi misalnya, orang lebih senang mengalokasikan uangnya buat jajan ketimbang ilmu. Harga bakso di Jakarta bisa lima kali harga koran. Tapi, tetap saja tidak sedikit yang lebih memilih bakso daripada menyisihkan dana jajannya buat pengetahuan.
Jangankan yang dengan biaya. Majelis taklim mana di Indonesia yang ikut harus dengan biaya. Semua gratis. Dapat ilmu, pahala, bahkan hidangan konsumsi; tapi tetap saja majelis taklim sepi peminat.
Jadi, yang mahal dalam modal perubahan adalah kemauan. Dari sinilah Allah memberikan jalan keluar. Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Ankabut: 69)
Jika ada kesempatan, membacalah
Ketika ada kemauan mengejar target sesuatu, kadang terbayang cara-cara yang jelimet. Sulit. Dan akhirnya tidak terjangkau. Begitu pun dalam mengejar ilmu pengetahuan. Yang biasa terbayang adalah kursus, beli referensi, privat, dan bentuk program lain yang enak dilalui tapi sulit ditempuh. Apalagi berhubungan dengan biaya.
Padahal, pintu ilmu yang paling dasar adalah membaca. Dan persoalan membaca tidak melulu berhubungan dengan biaya. Memang, buku di Indonesia masih tergolong mahal. Tapi, masih banyak cara agar membaca tidak menyedot isi kantong. Bisa lewat perpustakaan, patungan beli buku bersama teman, diskusi majalah, dan sebagainya.
Sumber : http://www.dakwatuna.com/
Indahnya Ciptaan Allah....
Indahnya alam ciptaan-Mu ya Allah,
Alangkah damainya ditepian pantai-Mu
Disitulah tersibak kebesaran-Mu
Bagi mereka yang cinta pada-Mu
Disitulah tersibak kebesaran-Mu
Bagi mereka yang cinta pada-Mu
Indahnya langit-Mu yang tidak bertiang
Lautan-Mu luas terbentang
Fajar dan senja datang silih berganti
Semuanya tunduk dan patuh pada-Mu
Fajar dan senja datang silih berganti
Semuanya tunduk dan patuh pada-Mu
Betapa hebat dan luar biasanya kasih-Mu
Inilah pujian kami pada-Mu
Subhanallah...
Inilah pujian kami pada-Mu
Subhanallah...
Indahnya alam ciptaan Allah,
Alangkah damainya ditepian pantai-Mu
Disitulah tersibak kebesaran-Mu
Bagi mereka yang cinta pada-Mu
Disitulah tersibak kebesaran-Mu
Bagi mereka yang cinta pada-Mu
Indahnya langit-Mu tidak bertiang
Lautan-Mu luas terbentang
Fajar dan senja datang silih berganti
Semuanya tunduk dan patuh pada-Mu
Fajar dan senja datang silih berganti
Semuanya tunduk dan patuh pada-Mu
Alangkah besarnya nikmat-Mu pada hamba di sini
Alangkah besarnya nikmat-Mu pada hamba di sini
Betapa hebat dan luar biasanya kasih-Mu
Inilah pujian kami pada-Mu
Inilah pujian kami pada-Mu
Subhanallah...
Cinta Dan Mencintai Karena Allah...
Definisi Cinta
Imam Ibnu Qayyim mengatakan, “Tidak ada batasan cinta yang lebih jelas daripada kata cinta itu sendiri; memba-tasinya justru hanya akan menambah kabur dan kering maknanya. Maka ba-tasan dan penjelasan cinta tersebut tidak bisa dilukiskan hakikatnya secara jelas, kecuali dengan kata cinta itu sendiri.
Kebanyakan orang hanya memberikan penjelasan dalam hal sebab-musabab, konsekuensi, tanda-tanda, penguat-penguat dan buah dari cinta serta hukum-hukumnya. Maka batasan dan gambaran cinta yang mereka berikan berputar pada enam hal di atas walaupun masing-masing berbeda dalam pendefinisiannya, tergantung kepada pengetahuan,kedudukan, keadaan dan penguasaannya terhadap masalah ini. (Madarijus-Salikin 3/11)
Beberapa definisi cinta:
1. Kecenderungan seluruh hati yang terus-menerus (kepada yang dicintai).
2. Kesediaan hati menerima segala keinginan orang yang dicintainya.
3. Kecenderungan sepenuh hati untuk lebih mengutamakan dia daripada diri dan harta sendiri, seia sekata dengannya baik dengan sembunyi-sebunyi maupun terang-terangan, kemudian merasa bahwa kecintaan tersebut masih kurang.
4. Mengembaranya hati karena men-cari yang dicintai sementara lisan senantiasa menyebut-nyebut namanya.
5. Menyibukkan diri untuk menge-nang yang dicintainya dan menghinakan diri kepadanya.
PEMBAGIAN CINTA
1. Cinta ibadahIalah kecintaan yang menyebabkan timbulnya perasaan hina kepadaNya dan mengagungkanNya serta bersema-ngatnya hati untuk menjalankan segala perintahNya dan menjauhi segala larangaNya.
Cinta yang demikian merupakan pokok keimanan dan tauhid yang pelakunya akan mendapatkan keutamaan-keutamaan yang tidak terhingga.
Jika ini semua diberikan kepada selain Allah maka dia terjerumus ke dalam cinta yang bermakna syirik, yaitu menyekutukan Allah dalam hal cinta.
Cinta yang demikian merupakan pokok keimanan dan tauhid yang pelakunya akan mendapatkan keutamaan-keutamaan yang tidak terhingga.
Jika ini semua diberikan kepada selain Allah maka dia terjerumus ke dalam cinta yang bermakna syirik, yaitu menyekutukan Allah dalam hal cinta.
2. Cinta karena Allah
Seperti mencintai sesuatu yang dicintai Allah, baik berupa tempat tertentu, waktu tertentu, orang tertentu, amal perbuatan, ucapan dan yang semisalnya. Cinta yang demikian termasuk cinta dalam rangka mencintai Allah.
Seperti mencintai sesuatu yang dicintai Allah, baik berupa tempat tertentu, waktu tertentu, orang tertentu, amal perbuatan, ucapan dan yang semisalnya. Cinta yang demikian termasuk cinta dalam rangka mencintai Allah.
3. Cinta yang sesuai dengan tabi’at (manusiawi),
yang termasuk ke dalam cintai jenis ini ialah:
yang termasuk ke dalam cintai jenis ini ialah:
a. Kasih-sayang, seperti kasih-sayangnya orang tua kepada anaknya dan sayangnya orang kepada fakir-miskin atau orang sakit.
b. Cinta yang bermakna segan dan hormat, namun tidak termasuk dalam jenis ibadah, seperti kecintaan seorang anak kepada orang tuanya, murid kepada pengajarnya atau syaikhnya, dan yang semisalnya.
c. Kecintaan (kesenangan) manusia kepada kebutuhan sehari-hari yang akan membahayakan dirinya kalau tidak dipenuhi, seperti kesenangannya kepada makanan, minuman, nikah, pakaian, persaudaraan serta persahabatan dan yang semisalnya.
Cinta-cinta yang demikian termasuk dalam kategori cinta yang manusiawi yang diperbolehkan. Jika kecintaanya tersebut membantunya untuk mencintai dan mentaati Allah maka kecintaan tersebut termasuk ketaatan kepada Allah, demikian pula sebaliknya.
KEUTAMAAN MENCINTAI ALLAH
1. Merupakan Pokok dan inti tauhidBerkata Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al-Sa’dy, “Pokok tauhid dan inti-sarinya ialah ikhlas dan cinta kepada Allah semata. Dan itu merupakan pokok dalam peng- ilah-an dan penyembahan bahkan merupakan hakikat ibadah yang tidak akan sempurna tauhid seseorang kecuali dengan menyempurnakan kecintaan kepada Rabb-nya dan menye-rahkan seluruh unsur-unsur kecintaan kepada-Nya sehingga ia berhukum hanya kepada Allah dengan menjadikan kecintaan kepada hamba mengikuti kecintaan kepada Allah yang dengannya seorang hamba akan mendapatkan kebahagiaan dan ketenteraman. (Al-Qaulus Sadid,hal 110)
2. Merupakan kebutuhan yang sangat besar melebihi makan, minum, nikah dan sebagainya.Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah berkata: “Didalam hati manusia ada rasa cinta terhadap sesuatu yang ia sembah dan ia ibadahi ,ini merupakan tonggak untuk tegak dan kokohnya hati seseorang serta baiknya jiwa mereka. Sebagaimana pula mereka juga memiliki rasa cinta terhadap apa yang ia makan, minum, menikah dan lain-lain yang dengan semua ini kehidupan menjadi baik dan lengkap.Dan kebutuhan manusia kepadapenuhanan lebih besar daripada kebutuhan akan makan, karena jika manusia tidak makan maka hanya akan merusak jasmaninya, tetapi jika tidak mentuhankan sesuatu maka akan merusak jiwa/ruhnya. (Jami’ Ar-Rasail Ibnu Taymiyah 2/230)
3. Sebagai hiburan ketika tertimpa musibahBerkata Ibn Qayyim, “Sesungguh-nya orang yang mencintai sesuatu akan mendapatkan lezatnya cinta manakala yang ia cintai itu bisa membuat lupa dari musibah yang menimpanya. Ia tidak merasa bahwa itu semua adalah musibah, walau kebanyakan orang merasakannya sebagai musibah. Bahkan semakin menguatlah kecintaan itu sehingga ia semakin menikmati dan meresapi musibah yang ditimpakan oleh Dzat yang ia cintai. (Madarijus-Salikin 3/38).
4. Menghalangi dari perbuatan maksiat.Berkata Ibnu Qayyim (ketika menjelaskan tentang cinta kepada Allah): “Bahwa ia merupakan sebab yang paling kuat untuk bisa bersabar sehingga tidak menyelisihi dan bermaksiat kepada-Nya. Karena sesungguhnya seseorang pasti akan mentaati sesuatu yang dicintainya; dan setiap kali bertambah kekuatan cintanya maka itu berkonsekuensi lebih kuat untuk taat kepada-Nya, tidak me-nyelisihi dan bermaksiat kepada-Nya.
Menyelisihi perintah Allah dan bermaksiat kepada-Nya hanyalah bersumber dari hati yang lemah rasa cintanya kepada Allah.Dan ada perbeda-an antara orang yang tidak bermaksiat karena takut kepada tuannya dengan yang tidak bermaksiat karena mencintainya.
Sampai pada ucapan beliau, “Maka seorang yang tulus dalam cintanya, ia akan merasa diawasi oleh yang dicintainya yang selalu menyertai hati dan raganya.Dan diantara tanda cinta yang tulus ialah ia merasa terus-menerus kehadiran kekasihnya yang mengawasi perbuatannya. (Thariqul Hijratain, hal 449-450)
5. Cinta kepada Allah akan menghilangkan perasaan was-was.Berkata Ibnu Qayyim, “Antara cinta dan perasaan was-was terdapat perbe-daan dan pertentangan yang besar sebagaimana perbedaan antara ingat dan lalai, maka cinta yang menghujam di hati akan menghilangkan keragu-raguan terhadap yang dicintainya.
Dan orang yang tulus cintanya dia akan terbebas dari perasaan was-was karena hatinya tersibukkan dengan kehadiran Dzat yang dicintainya tersebut. Dan tidaklah muncul perasaan was-was kecuali terhadap orang yang lalai dan berpaling dari dzikir kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala , dan tidaklah mungkin cinta kepada Allah bersatu dengan sikap was-was. (Madarijus-Salikin 3/38)
Dan orang yang tulus cintanya dia akan terbebas dari perasaan was-was karena hatinya tersibukkan dengan kehadiran Dzat yang dicintainya tersebut. Dan tidaklah muncul perasaan was-was kecuali terhadap orang yang lalai dan berpaling dari dzikir kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala , dan tidaklah mungkin cinta kepada Allah bersatu dengan sikap was-was. (Madarijus-Salikin 3/38)
6. Merupakan kesempurnaan nikmat dan puncak kesenangan.Berkata Ibn Qayyim, “Adapun mencintai Rabb Subhannahu wa Ta’ala maka keadaannya tidaklah sama dengan keadaan mencin-tai selain-Nya karena tidak ada yang paling dicintai hati selain Pencipta dan Pengaturnya; Dialah sesembahannya yang diibadahi, Walinya, Rabb-nya, Pengaturnya, Pemberi rizkinya, yang mematikan dan menghidupkannya. Maka dengan mencintai Allah Subhannahu wa Ta’ala akan menenteramkan hati, menghidupkan ruh, kebaikan bagi jiwa menguatkan hati dan menyinari akal dan menyenangkan pandangan, dan menjadi kayalah batin. Maka tidak ada yang lebih nikmat dan lebih segalanya bagi hati yang bersih, bagi ruh yang baik dan bagi akal yang suci daripada mencintai Allah dan rindu untuk bertemu dengan-Nya.
Kalau hati sudah merasakan manisnya cinta kepada Allah maka hal itu tidak akan terkalahkan dengan mencintai dan menyenangi selain-Nya. Dan setiap kali bertambah kecintaannya maka akan bertambah pula pengham-baan, ketundukan dan ketaatan kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala dan membebaskan diri dari penghambaan, ketundukan ketaatan kepada selain-Nya.”(Ighatsatul-Lahfan, hal 567)
ORANG-ORANG YANG DICINTAI ALLAH Subhannahu wa Ta’ala
Allah Subhannahu wa Ta’ala mencintai dan dicintai. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman di dalam surat Al-Ma’idah: 54, yang artinya: “Maka Allah akan mendatangkan satu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Allah.”
Mereka yang dicintai Allah Subhannahu wa Ta’ala :
· Attawabun (orang-orang yang bertau-bat), Al-Mutathahhirun (suka bersuci), Al-Muttaqun (bertaqwa), Al-Muhsinun (suka berbuat baik)Shabirun (bersa-bar), Al-Mutawakkilun (bertawakal ke-pada Allah) Al-Muqsithun (berbuat adil).
· Orang-orang yang berperang di jalan Allah dalam satu barisan seakan-akan mereka satu bangunan yang kokoh.
· Orang yang berkasih-sayang, lembut kepada orang mukmin.
· Orang yang menampakkan izzah/kehormatan diri kaum muslimin di hadapan orang-orang kafir.
· Orang yang berjihad (bersungguh-sungguh) di jalan Allah.
· Orang yang tidak takut dicela manusia karena beramal dengan sunnah.
· Orang yang berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadahsunnah setelah menyelesaikan ibadah wajib.
SEBAB-SEBAB UNTUK MENDAPATKAN CINTA ALLAH Subhannahu wa Ta’ala
o Membaca Al-Qur’an dengan memikir-kan dan memahami maknanya.
o Berusaha mendekatkan diri kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala dengan ibadah sunnah setelah menyelesaikan ibadah yang wajib.
o Selalu mengingat Allah Subhannahu wa Ta’ala , baik de-ngan lisan, hati maupun dengan anggota badan dalam setiap keadaan.
o Lebih mengutamakan untuk mencintai Allah Subhannahu wa Ta’ala daripada dirinya ketika hawa nafsunya menguasai dirinya.
o Memahami dan mendalami dengan hati tentang nama dan sifat-sifat Allah.
o Melihat kebaikan dan nikmatNya baik yang lahir maupun yang batin.
o Merasakan kehinaan dan kerendahan hati di hadapan Allah.
o Beribadah kepada Allah pada waktu sepertiga malam terakhir (di saat Allah turun ke langit dunia) untuk bermunajat kepadaNya, membaca Al-Qur’an , merenung dengan hati serta mempelajari adab dalam beribadah di hadapan Allah kemudian ditutup dengan istighfar dan taubat.
o Duduk dengan orang-orang yang memiliki kecintaan yang tulus kepada Allah dari para ulama dan da’i, mendengar-kan dan mengambil nasihat mereka serta tidak berbicara kecuali pembica-raan yang baik.
o Menjauhi/menghilangkan hal-hal yang menghalangi hati dari mengingat Allah Subhannahu wa Ta’ala .
(Disadur dari kalimat mutanawwi’ah fi abwab mutafarriqah karya Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd oleh Abu Muhammad).
Sumber : http://khitbahku.wordpress.com/
Langganan:
Postingan (Atom)