Powered By Blogger

Kamis, 06 Oktober 2011

TAKDIR

Keimanan seorang mukmin yang benar harus mencakup enam rukun. Yang terakhir adalah beriman terhadap takdir Allah, baik takdir yang baik maupun takdir yang buruk.  Salah memahami keimanan terhadap takdir dapat berakibat fatal, menyebabkan batalnya keimanan seseorang. Terdapat beberapa permasalahan yang harus dipahami oleh setiap muslim terkait masalah takdir ini. Semoga paparan ringkas ini dapat membantu kita untuk memahami keimanan yang benar terhadap takdir Allah. Wallahul musta’an.
Antara Qodho’ dan Qodar
Dalam pembahasan takdir, kita sering mendengar istilah qodho’ dan qodar. Dua istilah yang serupa tapi tak sama. Mempunyai makna yang sama jika disebut salah satunya, namun memiliki makna yang berbeda tatkala disebutkan bersamaan.[1] Jika disebutkan qodho’ saja maka mencakup makna qodar, demikian pula sebaliknya. Namun jika disebutkan bersamaan, maka qodho’ maknanya adalah sesuatu yang telah ditetapkan Allah pada makhluk-Nya, baik berupa penciptaan, peniadaan, maupun perubahan terhadap sesuatu. Sedangkan qodar maknanya adalah sesuatu yang telah ditentukan Allah sejak zaman azali. Dengan demikian qodar ada lebih dulu kemudian disusul dengan qodho’.[2]
Empat Prinsip Keimanan kepada Takdir
Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah. Perlu kita ketahui bahwa keimanan terhadap takdir harus mencakup empat prinsip. Keempat prinsip ini harus diimani oleh setiap muslim.
Pertama: Mengimani bahwa Allah Ta’ala mengetahui dengan ilmunya yang azali dan abadi tentang segala sesuatu yang terjadi baik perkara yang kecil maupun yang besar, yang nyata maupun yang tersembunyi, baik itu perbuatan yang dilakukan oleh Allah maupun perbuatan makhluknya. Semuanya terjadi dalam pengilmuan Allah Ta’ala.
Kedua: Mengimanai bahwa Allah Ta’ala telah menulis dalam lauhul mahfudz catatan takdir segala sesuatu sampai hari kiamat. Tidak ada sesuatupun yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi kecuali telah tercatat.
Dalil kedua prinsip di atas terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَافِي السَّمَآءِ وَاْلأَرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ {70}
Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah” (QS. Al Hajj:70).
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَيَعْلَمُهَآ إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَافِي الْبَرِّوَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ يَعْلَمُهَا وَلاَحَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ اْلأَرْضِ وَلاَرَطْبٍ وَلاَيَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مًّبِينٍ {59}
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)”” (QS. Al An’am:59).
Sedangkan dalil dari As Sunnah, di antaranya adalah sabda Rasulullah shalallhu ‘alaihi wa salam,
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
… Allah telah menetapkan takdir untuk setiap makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi[3]
Ketiga: Mengimani bahwa kehendak Allah meliputi segala sesuatu, baik yang terjadi maupun yang tidak terjadi, baik perkara besar maupun kecil, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang terjadi di langit maupun di bumi. Semuanya terjadi atas kehendak Allah Ta’ala, baik itu perbuatan Allah sendiri maupun perbuatan makhluknya.
Keempat: Mengimani dengan penciptaan Allah. Allah Ta’ala menciptakan segala sesuatu baik yang besar maupun kecil, yang nyata dan tersembunyi. Ciptaan Allah mencakup segala sesuatu dari bagian makhluk beserta sifat-sifatnya. Perkataan dan perbuatan makhluk pun termasuk ciptaan Allah.
Dalil kedua prinsip di atas adalah firman Allah Ta’ala,
اللهُ خَالِقُ كُلِّ شَىْءٍ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ وَكِيلٌ {62} لَّهُ مَقَالِيدُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا بِئَايَاتِ اللهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ {63}
“.Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. Kepunyaan-Nyalah kunci-kunci (perbendaharaan) langit dan bumi. Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, mereka itulah orang-orang yang merugi.”(QS. Az Zumar 62-63)
وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَاتَعْمَلُونَ {96}
Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu“.” (QS. As Shafat:96).[4]
Antara Kehendak Makhluk dan Kehendak-Nya
Beriman dengan benar terhadap takdir bukan berarti meniadakan kehendak dan kemampuan manusia untuk berbuat. Hal ini karena dalil syariat dan realita yang ada menunjukkan bahwa manusia masih memiliki kehendak untuk melakukan sesuatu.
Dalil dari syariat, Allah Ta’ala telah berfirman tentang kehendak makhluk,
ذَلِكَ الْيَوْمُ الْحَقُّ فَمَن شَآءَ اتَّخَذَ إِلىَ رَبِّهِ مَئَابًا {39}
“Itulah hari yang pasti terjadi. Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya.” (QS. An Nabaa’:39)
نِسَآؤُكُمْ حَرْثُ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ… {223}
“Isteri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. …”(Al Baqoroh:223)
Adapun tentang kemampuan makhluk Allah menjelaskan,
فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنفِقُوا خَيْرًا لأَنفُسِكُمْ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ {16}
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta ta’atlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu . Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. At Taghobun :16)
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَاكَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَااكْتَسَبَتْ رَبَّنَا …{286}
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya….”(QS. Al Baqoroh:286)
Sedangkan realita yang ada menunjukkan bahwa setiap manusia mengetahui bahwa dirinya memiliki kehendak dan kemampuan. Dengan kehendak dan kemampuannya, dia melakukan atau meninggalkan sesuatu. Ia juga bisa membedakan antara sesuatu yang terjadi dengan kehendaknya (seperti berjalan), dengan sesuatu yang terjadi tanpa kehendaknya, (seperti gemetar atau bernapas). Namun, kehendak maupun kemampuan makhluk itu terjadi dengan kehendak dan kemampuan Allah Ta’la karena Allah berfirman,
لِمَن شَآءَ مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ {28} وَمَاتَشَآءُونَ إِلآَّ أَن يَشَآءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ {29}
“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwiir:28-29). Dan karena semuanya adalah milik Allah maka tidak ada satu pun dari milik-Nya itu yang tidak diketahui dan tidak dikehendaki oleh-Nya.[5]
Macam-Macam Takdir
Pembaca yang dirahmati Allah, perlu kita ketahui bahwa takdir ada beberapa macam:
[1] Takdir Azali. Yakni ketetapan Allah sebelum penciptaan langit dan bumi ketika Allah Ta’ala menciptakan qolam (pena). Allah berfirman,
قُل لَّن يُصِيبَنَآ إِلاَّ مَاكَتَبَ اللهُ لَنَا هُوَ مَوْلاَنَا وَعَلَى اللهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ {51}
Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (QS. At Taubah:51)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallaam bersabda, “… Allah telah menetapkan takdir untuk setiap makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi[6]
[2] Takdir Kitaabah. Yakni pencatatan perjanjian ketika manusia ditanya oleh Allah:”Bukankah Aku Tuhan kalian?”. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَآ أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ {172} أَوْ تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَكَ ءَابَآؤُنَا مِن قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَةً مِّن بَعْدِهِمْ أَفَتُهْلِكُنًا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُونَ {173}
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengata-kan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu ?” (QS. Al A’raaf 172-173).
[3] Takdir ‘Umri. Yakni ketetapan Allah ketika penciptaan nutfah di dalam rahim, telah ditentukan jenis kelaminnya, ajal, amal, susah senangnya, dan rizkinya. Semuanya telah ditetapkan, tidak akan bertambah dan tidak berkurang. Allah Ta’ala berfirman,
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ الْبَعْثِ فَإِناَّ خَلَقْنَاكُم مِّن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِن مُضْغَةٍ مُّخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ وَنُقِرُّ فِي اْلأَرْحَامِ مَانَشَآءُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلاً ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أُشُدَّكُمْ وَمِنكُم مَّن يُتَوَفَّى وَمِنكُم مَّن يُرَدُّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلاَ يَعْلَمَ مِن بَعْدِ عِلْمٍ شَيْئًا وَتَرَى اْلأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَآ أَنزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَآءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنبَتَتْ مِن كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ {5}
Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.” (QS. Al Hajj:5)
[5] Takdir Hauli. Yakni takdir yang Allah tetapkan pada malam lailatul qadar, Allah menetapkan segala sesuatu yang terjadi dalam satu tahun. Allah berfirman,
حم {1} وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ {2} إِنَّآ أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ {3} فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ {4} أَمْرًا مِّنْ عِندِنَآ إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ {5}
Haa miim . Demi Kitab (Al Qur’an) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah , (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul” (QS. Ad Dukhaan:1-5)
[5] Takdir Yaumi. Yakni  pnentuan terjadinya takdir pada waktu yang telah ditakdirkan sbelumnya. Allah berfirman,
يَسْئَلُهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ {29}
Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepadaNya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan . “ (QS. Ar Rahmaan: 29). Ibnu Jarir meriwayatkan dari Munib bin Abdillah bin Munib Al Azdiy dari bapaknya berkata, “Rasulullah membaca firman Allah “ Setiap waktu Dia dalam kesibukan”, maka kami bertanya: Wahai Rasulullah apakah kesibukan yang dimaksud?. Rasulullah bersabda :” Allah mengampuni dosa, menghilangkan kesusahan, dan meninggikan suara serta merendahkan suara yang lain[7]
Sikap Pertengahan Dalam Memahami Takdir
Diantara prinsip ahlus sunnah adalah bersikap pertengahan dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah, tidak sebagaimana sikap ahlul bid’ah. Ahlus sunnah beriman bahwa Allah telah menetapkan seluruh taqdir sejak azali, dan Allah mengetahui takdir yang akan terjadi pada waktunya dan bagaimana bentuk takdir tersebut, semuanya terjadi sesuai dengan takdir yang telah Allah tetapkan.
Adapun orang-orang yang menyelisihi Al Quran dan As Sunnah, mereka bersikap berlebih-lebihan. Yang satu terlalu meremehkan dan yang lain melampaui batas. Kelompok Qodariyyah, mereka mengingkari adanya takdir. Mereka mengatakan bahwa Allah tidak menakdirkan perbuatan hamba. Menurut mereka perbuatan hamba bukan makhluk Allah, namun hamba sendirilah yang menciptakan perbuatannya. Mereka mengingkari penciptaan Allah terhadap amal hamba.
Kelompok yang lain adalah yang  terlalu melampaui batas dalam menetapkan takdir. Mereka dikenal dengan kelompok Jabariyyah. Mereka berlebihan dalam menetapkan takdir dan menafikan adanya kehendak hamba dalam perbuatannya. Mereka mengingkari adanya perbuatan hamba dan menisbatkan semua perbuatan hamba kepada Allah. Jadi seolah-olah hamba dipaksa dalam perbuatannya.[8]
Kedua kelompok di atas telah salah dalam memahai takdir sebagaimana ditunjukkan dalam banyak dalil. Di antaranya firman Allah ‘Azza wa Jalla,
لِمَن شَآءَ مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ {28} وَمَاتَشَآءُونَ إِلآَّ أَن يَشَآءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ {29}
“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.”(QS. At Takwiir:28-29)
Pada ayat (yang artinya), “ (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang menempuh jalan yang lurus” merupakan bantahan untuk Jabariyyah karena pada ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak bagi hamba. Hal ini bertentangan dengan keyakinan mereka yang mengatakan bahwa hamba dipaksa tanpa memiliki kehendak. Kemudian Allah berfirman (yang artinya), “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam.” Dalam ayat ini terdapat bantahan untuk Qodariyah yang mengatakan bahwa kehendak manusia itu berdiri sendiri dan diciptakan oleh hamba tanpa sesuai dengan  kehendak Allah karena Allah mengaitkan kehendak hamba dengan kehendak-Nya.[9]
Takdir Baik dan Takdir Buruk
Takdir terkadang disifati dengan takdir baik dan takdir buruk. Takdir yang baik sudah jelas maksudnya. Lalu apa yang dimaksud dengan takdir yang buruk? Apakah berarti Allah berbuat sesuatu yang buruk? Dalam hal ini kita perlu memahami antara takdir yang merupakan perbuatan Allah dan dampak/hasil dari perbuatan tersebut. Jika takdir disifati buruk, maka yang dimaksud adalah buruknnya sesuatu yang ditakdirkan tersebut, bukan takdir yang merupakan perbuatan Allah, karena tidak ada satu pun perbuatan Allah yang buruk. Seluruh perbuatan Allah mengandung kebaikan dan hikmah. Jadi keburukan yang dimaksud ditinjau dari sesuatu yang ditakdirkan/hasil perbuatan, bukan ditinjau dari perbuatan Allah. Untuk lebih jelasnya bisa kita contohkan sebagai berikut.
Seseorang yang terkena kanker tulang ganas pada kaki misalnya, terkadang membutuhkan tindakan amputasi (pemotongan bagian tubuh) untuk mencegah penyebaran kanker tersebut. Kita sepakat bahwa terpotongnya kaki adalah sesuatu yang buruk. Namun pada kasus ini, tindakan melakukan amputasi (pemotongan kaki) adalah perbuatan yang baik. Walaupun hasil perbuatannya buruk (yakni terpotongnya kaki), namun tindakan amputasi adalah perbuatan yang baik. Demikian pula dalam kita memahami takdir yang Allah tetapkan. Semua perbuatan Allah adalah baik, walaupun terkadang hasilnya adalah sesuatu yang tidak baik bagi hambanya.
Namun yang perlu diperhatikan, bahwa hasil takdir yang buruk terkadang di satu sisi buruk, akan tetapi mengandung kebaikan di sisi yang lain. Allah Ta’ala berfirman :
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ {41}
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar Ruum:41). Kerusakan yang terjadi pada akhirnya menimbulkan kebaikan. Oleh karena itu, keburukan yang terjadi dalam takdir bukanlah keburukan yang hakiki, karena terkadang akan menimbulkan hasil akhir berupa kebaikan.[10]
Bersemangatlah, Jangan Hanya Bersandar Pada Takdir
Sebagian orang memiliki anggapan yang salah dalam memahami takdir. Mereka hanya pasrah terhadap takdir tanpa melakukan usaha sama sekali. Sunngguh, ini adalah kesalahan yang nyata.  Bukankah Allah juga memerintahkan kita untuk mengambil sebab dan melarang kita dari bersikap malas? Apabila kita sudah mengambil sebab dan mendapatkan hasil yang tidak kita inginkan, maka kita tidak boleh sedih dan berputus asa karena semuanya sudah merupakan ketetapan Allah.  Oleh karena itu, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.’ Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu syaithon.”[11] [12]
Faedah Penting
Keimanan yang benar terhadap takdir akan membuahkan hal-hal penting, di antaranya sebagai berikut :
Pertama: Hanya bersandar kepada Allah ketika melakukan berbagai sebab, dan tidak bersandar kepada sebab itu sendiri. Karena segala sesuatu tergantung pada takdir Allah.
Kedua: Seseorang tidak sombong terhadap dirinya sendiri ketika tercapai tujuannya, karena keberhasilan yang ia dapatkan merupakan nikmat dari Allah, berupa sebab-sebab kebaikan dan keberhasilan yang memang telah ditakdirkan oleh Allah. Kekaguman terhadap dirinya sendiri akan melupakan dirinya untuk mensyukuri nikmat tersebut.
Ketiga: Munculnya ketenangan dalam hati terhadap takdir Allah yang menimpa dirinya, sehingga dia tidak bersedih atas hilangnya sesuatu yang dicintainya atau ketika mendapatkan sesuatu yang dibencinya. Sebab semuanya itu terjadi dengan ketentuan Allah. Allah berfirman,
مَآأَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَفِي أَنفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَآ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ {22} لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلَى مَافَاتَكُمْ وَلاَتَفْرَحُوا بِمَآ ءَاتَاكُمْ …{23}
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu…” (QS. Al Hadiid:22-23).[13]
Demikian paparan ringkas seputar keimanan terhadap takdir. Semoga bermanfaat. Alhamdulillahiladzi bi ni’matihi tatimmush shaalihat.
Penulis: Abu ‘Athifah Adika Mianoki
Muroja’ah: M. A. Tuasikal

[1]Kata qodho dan qadar ini serupa dengan kata iman dan islam, fakir dan miskin. Jika keduanya disebut bersamaan, maka makna keduanya berbeda dan jika disebut secara bersendirian, maka makna keduanya sama. [ed]
[2] Lihat Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah hal 551. Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin. Dalam kitab Syarh al ‘Aqidah al Washitiyah. Kumpulan Ulama. Penerbit Daarul Ibnul Jauzi
[3] HR. Muslim 2653.
[4] Taqriib Tadmuriyah hal 86-87, Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin. Penerbit Daarul Bashiiroh.
[5] Lihat Syarh Ushuulil Iman hal 53-54.  Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin. Penerbit Daarul Qasim. Cetakan pertama 1419 H
[6] HR. Muslim
[7] Diringkas dari Ma’aarijul Qobuul hal 503-509. Syaihk Hafidz bin Ahmad Hakami. Penerbit Darul Kutub ‘Ilmiyah. Cetakan pertama 1424 H/2004 M
[8] Lihat Al Mufiid fii Muhammaati at Tauhid hal 49-51. Dr. ‘Abdul Qodir as Shufi. Penerbit Daar Adwaus Salaf. Cetakan pertama 1428/2007
[9] Al Irsyaad ilaa Shahiihil I’tiqad hal 243-244. Syaikh Sholih Al Fauzan. Penerbit Maktabah Salsabiil Cetakan pertama tahun 2006.
[10] Lihat Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah hal 45, Syaikh ‘Utsaimin.
[11] HR. Muslim 2664
[12] Lihat Al Irsyaad ilaa Shahiihil I’tiqad hal 245-246.
[13] Syarh Ushuulil Iman hal 57-58.


Senin, 26 September 2011

Jangan Maksa Dong....

Beberapa waktu  yang  lalu, saya sedang mencari-cari tulisan yang menarik untuk dimasukan ke blog saya dan sekaligus menambah wawasan ilmu buat saya. Saya  tertarik dengan sebuah tulisan ustadz Daud Rasyid  yang berbicara tentang  Takalluf  Politik” dan sebuah tulisan berjudul  “Jangan Takalluf (Maksain…)”. Saya pikir kedua tulisan  cukup bagus untuk diketahui kita sebagai seorang muslim, karena prilaku  takalluf  atau  memaksakan diri ini banyak dilakukan oleh kita sebagai seorang muslim, karena kebodohan  ilmu kita.  Berikut kedua tulisan tersebut yang coba saya padukan  jadi satu yang saya beri  judul “Jangan Maksa dong…”

Kata “takalluf” berasal dari akar kata `ka-la-fa’ yang berarti beban. Dari akar kata ini, berkembang menjadi “kallafa” dan “taklif” (tugas), selain berkembang menjadi ”takallafa” dan “takalluf”. Yang terakhir ini dapat diartikan sebagai memaksakan diri untuk memikul kewajiban diluar batas kemampuan. Di dalam Islam, takalluf tergolong sifat yang tercela alias tak terpuji.
"Takalluf" berbeda dengan "taklif" yang berarti tugas. "Taklif" adalah amanah yang dipikulkan oleh pihak yang lebih tinggi untuk dijalankan sesuai dengan batas kemampuan. Biasanya yang menugaskan itu adalah Syari’ (Allah SWT dan rasul-Nya), seperti shalat, shaum dan jihad.
Tidak kita dapatkan Syari’ membebankan kewajiban kepada manusia diluar batas kemampuannya. Prinsip ini diterangkan Allah di dalam Al-Qur’an (QS. al-Baqarah: 286), dimana Allah SWT tidak membebankan kepada setiap diri kecuali sebatas kemampuannya.

Menurut Imam  an Nawawi, takalluf adalah perbuatan dan perkataan yang dilakukan dengan penuh kesulitan dan kurang terdapat kemaslahatan di dalamnya. (Imam Abu Zakaria Yahya bin Syarof An Nawawi)

Contoh-Contoh Takalluf

Misalnya begini, ada seorang ustadz ditanya oleh seorang jamaahnya. “Ustadz, bagaimana caranya shalat di bulan?” Si Ustadz sambil bercanda menjawab, “Ente pergi dulu deh ke bulan, nanti kalo udah sampe bulan SMS-in ane, ntar jawabannye ane bales ke handphone Ente.”
Nah pertanyaan yang seperti itu bisa disebut “takalluf”, maksain banget. Karena hakikatnya pertanyaan itu tidak penting setidaknya buat dirinya, yang sepengetahuan si Ustadz, sekarang aja ketika masih di bumi dia jarang sholat apalagi di bulan? udah gitu dia bukan astronot pula. Bukankah itu hanya mengada-ngada dan mempersulit dirinya dan orang lain?

Ada lagi misalnya seseorang Kyai yang sudah belajar di Arab 8 tahun ditanya tentang makna bahasa Arab yang dia tidak ketahui, bukan suatu aib bila dia menjawab, “saya tidak tahu”. Mungkin ada orang yang ngeledek, “Masa udah 8 tahun di arab nggak ngerti bahasa arab?” Si Kyai kan bisa menjawab, “Lho.. Onta aja yang sejak lahir udah di Arab nggak ngerti bahasa Arab koq, apalagi ane yang baru 8 tahun di arab?” he..he..

Dari Masruq, berkata: “Kami masuk majelis Abdullah bin Mas’ud. Lalu dia berkata: “Wahai sekalian manusia, barangsiapa yang mengerti tentang sesuatu ilmu pengetahuan, maka sampaikanlah sepanjang yang diketahuinya. Dan barangsiapa yang tidak mengerti (tidak tahu), maka ucapkanlah: “Allahu a’lam” (Allah lebih mengetahui akan hal itu). Sebab sesungguhnya termasuk bagian dari ilmu, jika seseorang itu mengucapkan terhadap sesuatu yang tidak diketahuinya dengan ucapan: “Allahu a’lam”. Allah berfirman kepada Nabi-Nya saw: “Katakanlah wahai Muhammad: “Aku tidak meminta upah kepadamu karena dakwahku ini dan aku bukannya golongan orang yang memaksa-maksakan diri (mutakallifin).” (QS. Shaad 38:86) (HR. Bukhari)

“Takalluf” dalam perbuatan misalnya, Karena ingin disebut berbakti kepada orang tua, ada seorang miskin yang ngotot membangun  kuburan orang tuanya dengan biaya jutaan rupiah dari hasil berhutang. Padahal berbakti kepada orang tua yang sudah meninggal harusnya dengan memperbanyak berdoa untuk mereka bukan dengan membangun kuburannya dengan bangunan yang megah dari hasil ngutang pula.. Al-Imam Muslim telah meriwayatkan dari hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kuburan dikapur, diduduki, dan dibangun.”Al-Imam At-Tirmidzi dan yang lain meriwayatkan dengan sanad yang shahih dengan tambahan lafadz:“dan ditulisi.” . Sudah salah, maksain banget tuh  orang.

Praktik ”takalluf” tidak hanya tercela dalam soal-soal agama atau konteks beragama saja, tapi juga tercela dalam segala hal termasuk dalam urusan dunia. Sebagai contoh dalam urusan pekerjaan, Kalau seorang hanya mampu melakukan tiga pekerjaan, maka tidak boleh memaksakan empat atau lima pekerjaan.

Takalluf Politik

Jika persoalan ini kita tarik ke arena politik yang oleh orang-orang sekuler persoalan politik ini tidak dianggap bagian dari urusan agama, maka masalahnya akan lebih kompleks. Misalnya, seseorang atau partai berambisi untuk merebut kekuasaan dalam pilkada, sementara ia tidak memiliki modal yang cukup secara finansial untuk berlaga dalam perlombaan itu. Kemudian orang itu menggaet calon lain yang bisa menutup kekurangannya.Di sinilah muncul berbagai persoalan baru. Apakah orang yang digaet ini mempunyai visi dan misi yang sama dengan orang itu atau hanya seorang oportunis…?

Karena sikap "takalluf"  ini menyebabkan perubahan paradigma. Seperti dari politik melayani masyarakat, menjadi politik memanfaatkan masyarakat. Pelayanan kepada masyarakat pun dilakukan dengan motivasi untuk mendapatkan dukungan suara. Di sini sudah mulai menyentuh wilayah aqidah. Sulit memisahkan antara niat Lillahi Ta’ala dengan niat mencari simpati pemilih. Padahal dalam melakukan suatu amal, Allah SWT tidak menerima niat yang mencampurkan keduanya.

Biasanya setelah terpilih, kedua figur itu tak bertahan lama untuk sejalan. Masing-masing memilih jalannya sendiri-sendiri. Yang terjadi kemudian adalah pecah kongsi. Kalaupun sejalan, maka di sana akan terjadi banyak pergeseran cara berpikir dan menilai. Yang tadinya sangat menjaga batas-batas halal-haram, sekarang sudah tidak mempersoalkan itu lagi. Yang tadinya teriakan “itu haram” begitu keras, maka teriakan itu sekarang sudah sayup-sayup hampir tak kedengaran.

Para anggota dikerahkan menghimpun dana sebanyak-banyaknya, tak peduli dari manapun sumber dana itu didapat: dari koruptorkah, pengusaha judikah, bandar narkobakah. Ambil saja uangnya, lalu konon katanya untuk mendanai ongkos politik. La hawla wala quwwata illa billah Na’uzubillah.

Belum lagi kehidupan beberapa aktivis yang mendadak berubah menjadi borjuis. Memiliki beberapa mobil mewah, perhiasan mewah, sementara pekerjaan resmi sebagai wakil rakyat bisa dihitung berapa pemasukannya yang halal dan logis. Lalu dari manakah sumbernya?

Kalau memang benar prilaku politik mereka seperti ini (saya tidak mau menuduh, karena saya tidak memiliki bukti, mudah-mudahan prilaku seperti ini tidak menghinggapi seseorang atau partai yang mengatasnamakan Islam atau da'wah), maka perjuangan seperti ini tidak ada bedanya dengan politik orang-orang sekuler yang memisahkan agama dengan politik, politik seperti ini tidak bakal direstui oleh Allah SWT dan mereka ini tidak lagi pantas membawa-bawa nama Islam atau dakwah.

Padahal Nabi saw jelas-jelas melarang sumber dana yang haram bagi setiap aktivitas seorang Muslim, seperti hasil jual-beli anjing, hasil perdukunan, dan upah pelacuran.

Pernahkah Rasul menggunakan dana dari kafir Quraisy dan musyrikin lainnya untuk perjuangan Islam? Tak satu pun sumber yang menyebutkan bahwa Nabi pernah menerima bantuan dari kaum kafir. Bahkan ketika seorang musyrik menawarkan diri untuk ikut dalam sebuah jihad, Nabi Saw mengujinya, apakah Anda beriman kepada Allah? Nabi spontan menolaknya dengan mengatakan, “Aku tak akan pernah meminta bantuan kepada musyrik.” Kenapa sensitivitas terhadap halal dan haram ini terus melemah?
Ini semua gara-gara melakukan tindakan “takalluf” dalam berpolitik.Apa beratnya mengakui jika memang tidak punya dana untuk ikut pilkada?

Bersikaplah sebagai pemain pasif, pengontrol dan pemberi nasehat. Tidak akan ada pihak yang menyalahkan sikap ini. Tetapi, jika memaksa maju dengan segala keterbatasan, di ujung ia akan dinilai. Inilah contoh orang-orang yang memaksakan dirinya.

Dari Ibnu Umar ra berkata, “Kami dilarang untuk takalluf.” (HR. Bukhari)

Sumber Tulisan :
- http://faihu.wordpress.com/  (Jangan Takkaluf (maksain..)) dengan sedikit edit
-http://charless.wordpress.com/ (Takalluf Politik : Ustadz DR. Daud Rasyid) dengan sedikit edit

Minggu, 25 September 2011

Jadilah Kitab Walau Tanpa Judul

Kun kitaaban mufiidan bila ‘unwaanan, wa laa takun ‘unwaanan bila kitaaban. Jadilah kitab yang bermanfaat walaupun tanpa judul. Namun, jangan menjadi judul tanpa kitab.

Pepatah dalam bahasa Arab itu menyiratkan makna yang dalam, terutama menyangkut kondisi bangsa saat ini yang sarat konflik perebutan kekuasaan dan pengabaian amanah oleh pemimpin-pemimpin yang tidak menebar manfaat dengan jabatan dan otoritas yang dimilikinya. Bangsa ini telah kehilangan ruuhul jundiyah, yakni jiwa ksatria. Jundiyah adalah karakter keprajuritan yang di dalamnya terkandung jiwa ksatria sebagaimana diwariskan pejuang dan ulama bangsa ini saat perjuangan kemerdekaan.

Semangat perjuangan (hamasah jundiyah) adalah semangat untuk berperan dan bukan semangat untuk mengejar jabatan, posisi, dan gelar-gelar duniawi lainnya (hamasah manshabiyah). Saat ini, jiwa ksatria itu makin menghilang. Sebaliknya, muncul jiwa-jiwa kerdil dan pengecut yang menginginkan otoritas, kekuasaan, dan jabatan, tetapi tidak mau bertanggung jawab, apalagi berkurban. Yang terjadi adalah perebutan jabatan, baik di partai politik, ormas, maupun pemerintahan. Orang berlomba-lomba mengikuti persaingan untuk mendapatkan jabatan, bahkan dengan menghalalkan segala cara. Akibatnya, di negeri ini banyak orang memiliki “judul”, baik judul akademis, judul keagamaan, judul kemiliteran, maupun judul birokratis, yang tanpa makna. Ada judulnya, tetapi tanpa substansi, tanpa isi, dan tanpa roh.

Padahal, ada kisah-kisah indah dan heroik berbagai bangsa di dunia. Misalnya, dalam Sirah Shahabah, disebutkan bahwa Said bin Zaid pernah menolak amanah menjadi gubernur di Himsh (Syria). Hal ini membuat Umar bin Khattab RA mencengkeram leher gamisnya seraya menghardiknya, “Celaka kau, Said! Kau berikan beban yang berat di pundakku dan kau menolak membantuku.” Baru kemudian, dengan berat hati, Said bin Zaid mau menjadi gubernur.

Ada lagi kisah lain, yaitu Umar bin Khattab memberhentikan Khalid bin Walid pada saat memimpin perang. Hal ini dilakukan untuk menghentikan pengultusan kepada sosok panglima yang selalu berhasil memenangkan pertempuran ini. Khalid menerimanya dengan ikhlas. Dengan singkat, ia berujar, “Aku berperang karena Allah dan bukan karena Umar atau jabatanku sebagai panglima.” Ia pun tetap berperang sebagai seorang prajurit biasa. Khalid dicopot “judul”-nya sebagai panglima perang. Namun, ia tetap membuat “kitab” dan membantu menorehkan kemenangan.

Ibrah yang bisa dipetik dari kisah-kisah tersebut adalah janganlah menjadi judul tanpa kitab; memiliki pangkat, tetapi tidak menuai manfaat. Maka, ruuhul jundiyah atau jiwa ksatria yang penuh pengorbanan harus dihadirkan kembali di tengah bangsa ini sehingga tidak timbul hubbul manaashib, yaitu cinta kepada kepangkatan, jabatan-jabatan, bahkan munafasah ‘alal manashib, berlomba-lomba untuk meraih jabatan-jabatan. Semoga.

Oleh : Ustadz Hilmi Aminuddin

Sumber : http://tarbiyahislamiyah.com/

Jumat, 23 September 2011

Pembatal-pembatal Keislaman


Pengertian Islam
Islam dapat dipahami dengan memadukan beberapa pengertian. Pertama, sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Islam adalah kamu bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah, Muhammad adalah utusan Allah, kamu dirikan sholat, kamu tunaikan zakat, kamu berpuasa Ramadhan, dan kamu menunaikan haji ke Baitullah jika kamu mampu untuk melakukan perjalanan ke sana.” (HR. Muslim). Dan juga sabda beliau, “Islam itu dibangun di atas lima perkara: hendaknya Allah itu ditauhidkan, mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji.” (HR. Bukhari dan Muslim, ini lafazh Muslim). Kedua, Islam itu mencakup 3 unsur pokok: kepasrahan kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan melakukan ketaatan, dan berlepas diri dari kemusyrikan dan pelakunya. Ketiga, Islam dengan makna Iman yaitu lawan dari kekafiran, sebagaimana kaidah yang dikenal di kalangan para ulama bahwa apabila kata islam disebutkan secara sendirian maka ia sudah mencakup iman, demikian pula sebaliknya. Adapun apabila islam disebutkan bersamaan dengan iman maka keduanya menunjukkan dua hal yang berlainan. Untuk bisa memahami pembatal keimanan terlebih dulu harus dipahami pengertian iman.
Pengertian Iman
Iman dalam akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah mencakup lima rambu-rambu: keyakinan di dalam hati, ucapan, dan perbuatan. Iman bisa bertambah, dan bisa berkurang. Perlu dipahami juga bahwa iman itu terdiri dari bagian-bagian, ada yang dikategorikan sebagai pokoknya dan ada pula yang dikategorikan sebagai cabang atau penyempurna. Apabila pokoknya hilang maka iman dikatakan batal, sedangkan apabila cabang atau penyempurnanya saja yang hilang maka tidak dikatakan bahwa imannya batal, hanya saja dia disebut sebagai mukmin yang berkurang imannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman itu terdiri dari tujuh puluh atau enam puluh lebih cabang. Yang paling utama di antaranya adalah ucapan la ilaha illallah, yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu merupakan cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim, ini lafazh Muslim, lihat Kitabul Iman karya Ibnu Taimiyah, takhrij al-Albani, hal. 13). Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah amal merupakan bagian/rukun dari iman. Iman tidak cukup dengan keyakinan dan ucapan sebagaimana yang diyakini oleh kaum Murji’ah. Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri hafizhahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terkandung dalil/landasan hukum untuk menyatakan bahwa perbuatan anggota badan dan kondisi kejiwaan apabila sesuai dengan syari’at Allah maka ia termasuk bagian dari iman. Hadits ini juga menunjukkan bahwa iman itu laksana sebuah pohon yang terdiri dari pokok, cabang, daun, dan buah-buahan…” (Minnatul Mun’im fi Syarh Shahih Muslim [1/77]). Dalam hadits lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan seorang mukmin laksana pohon kurma. Apa pun yang bersumber darinya bermanfaat untukmu.” (HR. al-Bazzar, disahihkan sanadnya oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari)
Pelaku dosa besar tidak dikafirkan
Ahlus Sunnah membedakan antara perbuatan dosa besar yang apabila dilakukan menyeret dalam kekafiran dengan perbuatan dosa besar yang tidak menyebabkan kafir pelakunya. Berbeda dengan kaum Khawarij yang menganggap bahwa pelaku dosa besar murtad dan kekal di dalam neraka jika tidak bertaubat dari dosanya. Padahal, Allah ta’ala telah menyatakan bahwa dosa-dosa besar di bawah tingkatan syirik masih bisa diampuni. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Allah akan mengampuni dosa-dosa lain di bawah tingkatan syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. an-Nisaa’: 48). Ayat di atas dengan jelas menunjukkan bahwa dosa di bawah tingkatan syirik masih mungkin untuk diampuni, sementara ampunan tidak akan diberikan kecuali kepada orang yang beriman. Di dalam hadits disebutkan bahwa Allah ta’ala berfirman, “Wahai anak Adam, seandainya kamu datang menghadap-Ku dengan membawa dosa hampir sepenuh bumi lalu kamu menemui-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun niscaya Aku akan menemuimu dengan membawa ampunan sebesar itu pula.” (HR. Tirmidzi, beliau mengatakan hadits hasan sahih). Hadits ini menunjukkan bahwa selama orang tidak melakukan dosa syirik atau dosa lain yang sederajat dengannya maka dosanya masih mungkin diampuni. Hadits ini juga menunjukkan keutamaan ikhlas (ibadah yang murni karena Allah) bahwa ia merupakan sebab diampuninya dosa-dosa (lihat ad-Durrah as-Salafiyah Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 290)
Dalam menyikapi pelaku dosa besar ada tiga kelompok utama yang menyimpang dari jalan yang lurus (baca: manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah) yaitu Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah. Golongan Khawarij menganggap bahwa pelaku dosa besar kafir -di dunia- dan kekal di dalam neraka. Adapun golongan Murji’ah menganggap bahwa pelaku dosa besar seorang mukmin yang sempurna imannya dan tidak ada hukuman yang harus dijatuhkan kepadanya. Sementara golongan Mu’tazilah menganggap bahwa pelaku dosa besar di dunia tidak kafir tapi juga tidak beriman, atau biasa dikenal dengan istilah manzilah baina manzilatain (di suatu posisi di antara dua posisi). Meskipun demikian, Mu’tazilah sepakat dengan Khawarij dalam menghukumi pelaku dosa besar kelak akan kekal di neraka (lihat Mu’jam Alfazh al-’Aqidah, hal. 331).
Oleh sebab itu kita harus bersungguh-sungguh dalam mempelajari akidah dan rambu-rambu keimanan agar kita tidak tergelincir ke dalam penyimpangan pemahaman seperti yang mereka alami. Dari sini pun kita bisa menyibak salah satu alasan mengapa para ulama hadits senantiasa mengawali pembahasan syari’at/ajaran Islam dengan menyebutkan Kitabul Iman di bagian awal-awal kitab mereka seperti halnya Imam Bukhari rahimahullah dalam Shahihnya (setelah Kitab Bad’ul Wahyi dan Kitabul Ilmi) dan Imam Muslim rahimahullah dalam Shahihnya pada awal kitab setelah mukadimah Shahihnya. Adapun pembahasan pembatal-pembatal keislaman biasanya diletakkan di akhir setelah tuntas pembahasan tentang hakekat iman.
Pengertian Kemurtadan
Murtad berasal dari kata irtadda yang artinya raja’a (kembali), sehingga apabila dikatakan irtadda ‘an diinihi maka artinya orang itu telah kafir setelah memeluk Islam (lihat Mu’jamul Wasith, 1/338). Perbuatannya yang menyebabkan dia kafir atau murtad itu disebut sebagai riddah (kemurtadan). Secara istilah makna riddah adalah : menjadi kafir sesudah berislam. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa diantara kalian yang murtad dari agamanya kemudian mati dalam keadaan kafir maka mereka itulah orang-orang yang terhapus amalannya di dunia dan akhirat. Dan mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal berada di dalamnya.” (QS. al-Baqarah : 217) (lihat at-Tauhid li Shaffits Tsaalits ‘Aliy, hal. 32)
Penjatuhan vonis kafir/murtad
Vonis hukum kafir/takfir dapat dibagi menjadi dua kategori: takfir muthlaq dan takfir mu’ayyan. Yang dimaksud dengan takfir muthlaq adalah kaidah umum yang diberlakukan bagi orang yang melakukan suatu jenis perbuatan yang dimasukkan dalam kategori kekafiran (kufur akbar). Seperti misalnya ucapan para ulama, “Barang siapa yang meyakini al-Qur’an adalah makhluk maka dia kafir.” Ungkapan semacam ini bisa dilontarkan oleh siapa saja selama dilandasi dalil al-Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman yang benar serta tidak ditujukan kepada suatu kelompok atau individu tertentu. Adapun takfir mu’ayyan maka ia merupakan bentuk penjatuhan vonis kafir kepada individu atau kelompok orang tertentu. Jenis takfir yang kedua ini bukan hak setiap orang, namun wewenang para ulama yang benar-benar ahlinya atau badan khusus (ulama) yang ditunjuk oleh penguasa muslim setempat. Untuk menjatuhkan vonis kafir kepada perorangan diperlukan tahapan-tahapan yang tidak mudah dan syarat-syarat, sampai benar-benar terbukti bahwa yang bersangkutan benar-benar telah melakukan kekafiran yang mengeluarkannya dari agama (lihat Mujmal Masa’il Iman al-’Ilmiyah fi ushul al-’Aqidah as-Salafiyah, hal. 17-18).
Macam-macam riddah/kemurtadan
[1] Riddah dengan sebab ucapan. Seperti contohnya ucapan mencela Allah ta’ala atau Rasul-Nya, menjelek-jelekkan malaikat atau salah seorang rasul. Atau mengaku mengetahui ilmu gaib, mengaku sebagai Nabi, membenarkan orang yang mengaku Nabi. Atau berdoa kepada selain Allah, beristighotsah kepada selain Allah dalam urusan yang hanya dikuasai Allah atau meminta perlindungan kepada selain Allah dalam urusan semacam itu.
[2] Riddah dengan sebab perbuatan. Seperti contohnya melakukan sujud kepada patung, pohon, batu atau kuburan dan menyembelih hewan untuk diperembahkan kepadanya. Atau melempar mushaf di tempat-tempat yang kotor, melakukan praktek sihir, mempelajari sihir atau mengajarkannya. Atau memutuskan hukum dengan bukan hukum Allah dan meyakini kebolehannya.
[3] Riddah dengan sebab keyakinan. Seperti contohnya meyakini Allah memiliki sekutu, meyakini khamr, zina dan riba sebagai sesuatu yang halal. Atau meyakini roti itu haram. Atau meyakini bahwa sholat itu tidak diwajibkan dan sebagainya. Atau meyakini keharaman sesuatu yang jelas disepakati kehalalannya. Atau meyakini kehalalan sesuatu yang telah disepakati keharamannya.
[4] Riddah dengan sebab keraguan. Seperti meragukan sesuatu yang sudah jelas perkaranya di dalam agama, seperti meragukan diharamkannya syirik, khamr dan zina. Atau meragukan kebenaran risalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau para Nabi yang lain. Atau meragukan kebenaran Nabi tersebut, atau meragukan ajaran Islam. Atau meragukan kecocokan Islam untuk diterapkan pada zaman sekarang ini (lihat at-Tauhid li Shaffits Tsaalits ‘Aliy, hal. 32-33)
Sepuluh Pembatal Keislaman
Berikut ini sepuluh perkara yang digolongkan sebagai pembatal keislaman. Walaupun sebenarnya pembatal keislaman itu tidak terbatas pada sepuluh perkara ini saja. Hanya saja sepuluh perkara ini merupakan pokok-pokoknya, yaitu: [1] Melakukan kemusyrikan dalam beribadah kepada Allah. Yaitu menujukan salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barang siapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah haramkan atasnya surga, dan tempat kembalinya adalah neraka…” (QS. al-Ma’idah: 72). [2] Mengangkat perantara dalam beribadah kepada Allah yang dijadikan sebagai tujuan permohonan/doa dan tempat meminta syafa’at selain Allah. [3] Tidak meyakini kafirnya orang musyrik, meragukan kekafiran mereka, atau bahkan membenarkan keyakinan mereka. [4] Keyakinan bahwa ada petunjuk dan hukum selain tuntunan Nabi yang lebih sempurna dan lebih baik daripada petunjuk dan hukum beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. [5] Membenci ajaran Rasul, meskipun dia juga ikut melakukan ajaran itu. [6] Mengolok-olok ajaran agama Islam, pahala atau siksa. [7] Sihir. [8] Membantu kaum kafir dalam menghancurkan umat Islam. [9] Keyakinan bahwa sebagian orang boleh tidak mengikuti syari’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menganalogikannya dengan Nabi Khidr bersama Nabi Musa ‘alaihimas salam. [10] Berpaling total dari agama, tidak mau mempalajari maupun mengamalkannya (lihat Nawaqidh al-Islam, karya Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah hal. 2-4 software Maktabah asy-Syamilah).
Hukum yang terkait dengan orang murtad
[1] Orang yang murtad harus diminta bertobat sebelum dijatuhi hukuman. Kalau dia mau bertobat dan kembali kepada Islam dalam rentang waktu tiga hari maka diterima dan dibebaskan dari hukuman. [2] Apabila dia menolak bertobat maka wajib membunuhnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah dia.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud). [3] Kemurtadannya menghalangi dia untuk memanfaatkan hartanya dalam rentang waktu dia diminta tobat. Apabila dia bertobat maka hartanya dikembalikan. Kalau dia tidak mau maka hartanya menjadi harta fai’ yang diperuntukkan bagi Baitul Maal sejak dia dihukum bunuh atau sejak kematiannya akibat murtad. Dan ada pula ulama yang berpendapat hartanya diberikan untuk kepentingan kebaikan kaum muslimin secara umum. [4] Orang murtad tidak berhak mendapatkan warisan dari kerabatnya, dan juga mereka tidak bisa mewarisi hartanya. [5] Apabila dia mati atau terbunuh karena dijatuhi hukuman murtad maka mayatnya tidak dimandikan, tidak disholati dan tidak dikubur di pekuburan kaum muslimin akan tetapi dikubur di pekuburan orang kafir atau di kubur di tanah manapun selain pekuburan umat Islam (lihat at-Tauhid li Shaffits Tsaalits ‘Aliy, hal. 33). Demikian penjelasan yang ringkas ini, semoga bermanfaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Selesai disusun ulang dengan beberapa penambahan di Yogyakarta, 13 Syawwal 1430 H
Hamba yang fakir kepada ampunan Rabbnya
Abu Mushlih Ari Wahyudi
http://abumushlih.com