Powered By Blogger

Senin, 26 September 2011

Jangan Maksa Dong....

Beberapa waktu  yang  lalu, saya sedang mencari-cari tulisan yang menarik untuk dimasukan ke blog saya dan sekaligus menambah wawasan ilmu buat saya. Saya  tertarik dengan sebuah tulisan ustadz Daud Rasyid  yang berbicara tentang  Takalluf  Politik” dan sebuah tulisan berjudul  “Jangan Takalluf (Maksain…)”. Saya pikir kedua tulisan  cukup bagus untuk diketahui kita sebagai seorang muslim, karena prilaku  takalluf  atau  memaksakan diri ini banyak dilakukan oleh kita sebagai seorang muslim, karena kebodohan  ilmu kita.  Berikut kedua tulisan tersebut yang coba saya padukan  jadi satu yang saya beri  judul “Jangan Maksa dong…”

Kata “takalluf” berasal dari akar kata `ka-la-fa’ yang berarti beban. Dari akar kata ini, berkembang menjadi “kallafa” dan “taklif” (tugas), selain berkembang menjadi ”takallafa” dan “takalluf”. Yang terakhir ini dapat diartikan sebagai memaksakan diri untuk memikul kewajiban diluar batas kemampuan. Di dalam Islam, takalluf tergolong sifat yang tercela alias tak terpuji.
"Takalluf" berbeda dengan "taklif" yang berarti tugas. "Taklif" adalah amanah yang dipikulkan oleh pihak yang lebih tinggi untuk dijalankan sesuai dengan batas kemampuan. Biasanya yang menugaskan itu adalah Syari’ (Allah SWT dan rasul-Nya), seperti shalat, shaum dan jihad.
Tidak kita dapatkan Syari’ membebankan kewajiban kepada manusia diluar batas kemampuannya. Prinsip ini diterangkan Allah di dalam Al-Qur’an (QS. al-Baqarah: 286), dimana Allah SWT tidak membebankan kepada setiap diri kecuali sebatas kemampuannya.

Menurut Imam  an Nawawi, takalluf adalah perbuatan dan perkataan yang dilakukan dengan penuh kesulitan dan kurang terdapat kemaslahatan di dalamnya. (Imam Abu Zakaria Yahya bin Syarof An Nawawi)

Contoh-Contoh Takalluf

Misalnya begini, ada seorang ustadz ditanya oleh seorang jamaahnya. “Ustadz, bagaimana caranya shalat di bulan?” Si Ustadz sambil bercanda menjawab, “Ente pergi dulu deh ke bulan, nanti kalo udah sampe bulan SMS-in ane, ntar jawabannye ane bales ke handphone Ente.”
Nah pertanyaan yang seperti itu bisa disebut “takalluf”, maksain banget. Karena hakikatnya pertanyaan itu tidak penting setidaknya buat dirinya, yang sepengetahuan si Ustadz, sekarang aja ketika masih di bumi dia jarang sholat apalagi di bulan? udah gitu dia bukan astronot pula. Bukankah itu hanya mengada-ngada dan mempersulit dirinya dan orang lain?

Ada lagi misalnya seseorang Kyai yang sudah belajar di Arab 8 tahun ditanya tentang makna bahasa Arab yang dia tidak ketahui, bukan suatu aib bila dia menjawab, “saya tidak tahu”. Mungkin ada orang yang ngeledek, “Masa udah 8 tahun di arab nggak ngerti bahasa arab?” Si Kyai kan bisa menjawab, “Lho.. Onta aja yang sejak lahir udah di Arab nggak ngerti bahasa Arab koq, apalagi ane yang baru 8 tahun di arab?” he..he..

Dari Masruq, berkata: “Kami masuk majelis Abdullah bin Mas’ud. Lalu dia berkata: “Wahai sekalian manusia, barangsiapa yang mengerti tentang sesuatu ilmu pengetahuan, maka sampaikanlah sepanjang yang diketahuinya. Dan barangsiapa yang tidak mengerti (tidak tahu), maka ucapkanlah: “Allahu a’lam” (Allah lebih mengetahui akan hal itu). Sebab sesungguhnya termasuk bagian dari ilmu, jika seseorang itu mengucapkan terhadap sesuatu yang tidak diketahuinya dengan ucapan: “Allahu a’lam”. Allah berfirman kepada Nabi-Nya saw: “Katakanlah wahai Muhammad: “Aku tidak meminta upah kepadamu karena dakwahku ini dan aku bukannya golongan orang yang memaksa-maksakan diri (mutakallifin).” (QS. Shaad 38:86) (HR. Bukhari)

“Takalluf” dalam perbuatan misalnya, Karena ingin disebut berbakti kepada orang tua, ada seorang miskin yang ngotot membangun  kuburan orang tuanya dengan biaya jutaan rupiah dari hasil berhutang. Padahal berbakti kepada orang tua yang sudah meninggal harusnya dengan memperbanyak berdoa untuk mereka bukan dengan membangun kuburannya dengan bangunan yang megah dari hasil ngutang pula.. Al-Imam Muslim telah meriwayatkan dari hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kuburan dikapur, diduduki, dan dibangun.”Al-Imam At-Tirmidzi dan yang lain meriwayatkan dengan sanad yang shahih dengan tambahan lafadz:“dan ditulisi.” . Sudah salah, maksain banget tuh  orang.

Praktik ”takalluf” tidak hanya tercela dalam soal-soal agama atau konteks beragama saja, tapi juga tercela dalam segala hal termasuk dalam urusan dunia. Sebagai contoh dalam urusan pekerjaan, Kalau seorang hanya mampu melakukan tiga pekerjaan, maka tidak boleh memaksakan empat atau lima pekerjaan.

Takalluf Politik

Jika persoalan ini kita tarik ke arena politik yang oleh orang-orang sekuler persoalan politik ini tidak dianggap bagian dari urusan agama, maka masalahnya akan lebih kompleks. Misalnya, seseorang atau partai berambisi untuk merebut kekuasaan dalam pilkada, sementara ia tidak memiliki modal yang cukup secara finansial untuk berlaga dalam perlombaan itu. Kemudian orang itu menggaet calon lain yang bisa menutup kekurangannya.Di sinilah muncul berbagai persoalan baru. Apakah orang yang digaet ini mempunyai visi dan misi yang sama dengan orang itu atau hanya seorang oportunis…?

Karena sikap "takalluf"  ini menyebabkan perubahan paradigma. Seperti dari politik melayani masyarakat, menjadi politik memanfaatkan masyarakat. Pelayanan kepada masyarakat pun dilakukan dengan motivasi untuk mendapatkan dukungan suara. Di sini sudah mulai menyentuh wilayah aqidah. Sulit memisahkan antara niat Lillahi Ta’ala dengan niat mencari simpati pemilih. Padahal dalam melakukan suatu amal, Allah SWT tidak menerima niat yang mencampurkan keduanya.

Biasanya setelah terpilih, kedua figur itu tak bertahan lama untuk sejalan. Masing-masing memilih jalannya sendiri-sendiri. Yang terjadi kemudian adalah pecah kongsi. Kalaupun sejalan, maka di sana akan terjadi banyak pergeseran cara berpikir dan menilai. Yang tadinya sangat menjaga batas-batas halal-haram, sekarang sudah tidak mempersoalkan itu lagi. Yang tadinya teriakan “itu haram” begitu keras, maka teriakan itu sekarang sudah sayup-sayup hampir tak kedengaran.

Para anggota dikerahkan menghimpun dana sebanyak-banyaknya, tak peduli dari manapun sumber dana itu didapat: dari koruptorkah, pengusaha judikah, bandar narkobakah. Ambil saja uangnya, lalu konon katanya untuk mendanai ongkos politik. La hawla wala quwwata illa billah Na’uzubillah.

Belum lagi kehidupan beberapa aktivis yang mendadak berubah menjadi borjuis. Memiliki beberapa mobil mewah, perhiasan mewah, sementara pekerjaan resmi sebagai wakil rakyat bisa dihitung berapa pemasukannya yang halal dan logis. Lalu dari manakah sumbernya?

Kalau memang benar prilaku politik mereka seperti ini (saya tidak mau menuduh, karena saya tidak memiliki bukti, mudah-mudahan prilaku seperti ini tidak menghinggapi seseorang atau partai yang mengatasnamakan Islam atau da'wah), maka perjuangan seperti ini tidak ada bedanya dengan politik orang-orang sekuler yang memisahkan agama dengan politik, politik seperti ini tidak bakal direstui oleh Allah SWT dan mereka ini tidak lagi pantas membawa-bawa nama Islam atau dakwah.

Padahal Nabi saw jelas-jelas melarang sumber dana yang haram bagi setiap aktivitas seorang Muslim, seperti hasil jual-beli anjing, hasil perdukunan, dan upah pelacuran.

Pernahkah Rasul menggunakan dana dari kafir Quraisy dan musyrikin lainnya untuk perjuangan Islam? Tak satu pun sumber yang menyebutkan bahwa Nabi pernah menerima bantuan dari kaum kafir. Bahkan ketika seorang musyrik menawarkan diri untuk ikut dalam sebuah jihad, Nabi Saw mengujinya, apakah Anda beriman kepada Allah? Nabi spontan menolaknya dengan mengatakan, “Aku tak akan pernah meminta bantuan kepada musyrik.” Kenapa sensitivitas terhadap halal dan haram ini terus melemah?
Ini semua gara-gara melakukan tindakan “takalluf” dalam berpolitik.Apa beratnya mengakui jika memang tidak punya dana untuk ikut pilkada?

Bersikaplah sebagai pemain pasif, pengontrol dan pemberi nasehat. Tidak akan ada pihak yang menyalahkan sikap ini. Tetapi, jika memaksa maju dengan segala keterbatasan, di ujung ia akan dinilai. Inilah contoh orang-orang yang memaksakan dirinya.

Dari Ibnu Umar ra berkata, “Kami dilarang untuk takalluf.” (HR. Bukhari)

Sumber Tulisan :
- http://faihu.wordpress.com/  (Jangan Takkaluf (maksain..)) dengan sedikit edit
-http://charless.wordpress.com/ (Takalluf Politik : Ustadz DR. Daud Rasyid) dengan sedikit edit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar