Powered By Blogger

Senin, 04 Juli 2011

Mencari Telaga di Tengah Kegersangan Zaman

Hari ini, ketika saudara-saudara kita banyak yang mengalami keputus asaan, karena tak sanggup menahan beban hidup yang tak seberapa, aku tahu banyak jiwa yang gersang di balik rumah-rumah megah. Ada istri-istri yang tak menemukan lagi keindahan bersanding dengan suami. Ada suami-suami yang tak bergairah lagi melihat istrinya, meski telah berdandan dengan tampilan yang paling mengesankan dan memberinya sambutan yang begitu hangat. Ada pula anak-anak yang memperoleh segalanya dari orang tua, kecuali kepercayaan dan rasa memiliki.
Mereka inilah orang-orang yang gersang jiwanya. Mereka berlari ke sana kemari untuk mencari keteduhan. Mereka mendatangi klub-klub spiritual, malakukan umrah atau haji setiap tahun, tetapi pulang sebagaimana yang digambarkan oleh Ibnu Mas’ud ra., “Di akhir zaman akan bertambah banyak orang yang pergi haji tanpa sebab tertentu. Perjalanan ke sana sangat dimudahkan bagi mereka, dan rezeki mereka pun dilapangkan, namun mereka pulang dari sana dalam keadaan kosong dari pahala dan terlepas dari kebaikan, dan adakalanya seorang dari mereka diperosokkan oleh untanya di padang pasir dan belantara, sementara tetangganya sendiri dalam kesusahan, tidak diberinya pertolongan.”
Bisyr Ibn al-Harits pernah menyinggung. Orang-orang yang menumpuk harta dari jalan syubhat akan terbakar jiwanya untuk menghabiskan di jalan yang disangkanya mengantarkan dia kepada Allah, padahal sebenarnya ia sedang memanjakan nafsunya sendiri. Ketika seseorang datang kepadanya bersikukuh hendak berhaji setelah hajjatul-Islam (haji yang wajib sekali seumur hidup), padahal banyak yang lebih utama untuk dikerjakan bagi Islam dan ummatnya, Bisyr Ibn al-Harits berkata, “Memang, apabila harta diperoleh melalui kotoran perdagangan atau syubhat, tertariklah hati untuk memenuhi keinginan hawa nafsu, dengan menampakkan dan menonjolkan amal-amal saleh (agar dapat diketahui oleh orang banyak). Sedangkan Allah swt. telah bersumpah demi diri-Nya sendiri, bahwa Ia tidak akan menerima amalan selain amalan orang-orang yang bertakwa.”
Boleh jadi jalan kita mencari rezeki telah lurus, tetapi di dalamnya ada hak orang lain di luar zakat yang tidak kita keluarkan. Ia menjadi kotoran dalam harta kita, sehingga hidup kita senantiasa gelisah. Ada keresahan yang tak sanggup kita obati, meski telah mendatangi psikolog dan majelis-majelis wirid. Bukan majelis wirid itu salah, tetapi sikap batin kita saat menghadirinya. Kita datang karena ingin mencari keasyikan menangis, bukan sungguh-sungguh mengingati-Nya. Kita menyangka menemukan spiritualitas, padahal sesungguhnya hanyalah spiritual engineering (rekayasa spiritual). Karena tanda orang yang takut kepada Allah adalah menangis saat beribadah, maka kita berusaha meraih tandanya. Tidak lebih. Sebagaimana dari yang telah menjadi simbol eksekutif, tetapi karena hanya diambil simbolnya, sekarang penjual pisau keliling pun pakai dasi.
Kita ambil bungkus, tetapi tanpa isi. Di saat seperti ini, perputaran informasi yang amat cepat akan semakin menenggelamkan kita dalam kebisingan. Kita merasa kesepian di saat dunia justru begitu hiruk pikuk.

Sumber :  Mohammad Fauzil Adhim dalam buku Membuka Jalan ke Surga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar